Wilwatikta,
nama lain Majapahit yang berasal dari bahasa sanskerta, vilva (buah Maja, aegle marmelos) dan tikta (pahit), kerajaan yang pernah berdiri di Brang
Wetan Jawadwipa (tanah Jawa bagian timur) pada abad XII hingga XV, dianggap sebagai
sebuah kesultanan Islam.
Sebuah
media online, pada tanggal 14 Juni 2017 mengutip tulisan yang diposting di akun
facebook seseorang dengan judul: Meluruskan
Sejarah!!! Kesultanan Islam Majapahit dan Patih Muslim Gaj Ahmada (Gajah Mada).
Menurut
penulisnya, berdasarkan penelitian untuk mengkaji ulang sejarah Majapahi, didapatkan hasil bahwa kerajaan yang pernah menguasai wilayah nusantara dan sebagian besar
Asia Tenggara itu adalah sebuah kesultanan Islam.
Alasan
penulis adalah sebagai berikut:
- Ditemukannya koin emas Majapahit dengan lafal La Illaha Illallah Muhammad Rasulullah.
- Terdapat tulisan Qadi (hakim agama Islam) pada nisan Maulana Malik Ibrahim.
- Lambang kerajaan Majapahit berupa delapan sinar matahari dengan beberapa tulisan Arab, mencerminkan sifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat.
- Pendiri kerajaan Majapahit, Raden Wijaya adalah seorang muslim. Beliau cucu dari Prabu Guru Dharmasiksa, raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan.
- Patih kerajaan Majapahit yang terkenal dengan sumpah palapa, Gajah Mada adalah seorang muslim yang memiliki nama asli Gaj Ahmada. Saat ini, makamnya ada di Mojokerto dan dikenal sebagai Syaikh Mada.
- Pada 1253 Masehi, Baghdad diserang oleh tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan. Terjadi eksodus kaum muslim dari Timur Tengah ke nusantara, terutama kaum Alawiyah yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Lalu,
benarkah bahwa sebenarnya Majapahit adalah sebuah kesultanan Islam?
Inilah
tafsir sejarah saya sebagai respon atas anggapan bahwa (faktanya) Majapahit adalah
sebuah kesultanan Islam:
Adanya Koin Emas.
Koin
emas bertuliskan huruf Arab, bukanlah satu-satunya uang yang pernah ditemukan di Majapahit.
Foto yang dijadikan dasar penulisan hanyalah salah satu dari sekian banyak foto
koin yang bisa kita jumpai di museum Trowulan.
Orang-orang
dari negeri Ngatas Angin (sebutan bangsa asing di jaman Majapahit), termasuk
dari Tiongkok, Champa dan Timur Tengah telah berdagang ke Jawa sejak jaman
Panjalu. Tetapi tidak serta merta bahwa Panjalu adalah sebuah kesultanan Islam.
Pun juga dengan teori koin emas ini terhadap Majapahit.
Bagaimana
bisa, koin emas bertuliskan huruf Arab yang ada di museum Trowulan dijadikan
kesimpulan bahwa negeri itu adalah sebuah kesultanan Islam?
Maulana Malik Ibrahim
Kanjêng
Susuhunan Ing Garisik (manusia mulia di Gresik, disingkat Sunan) yang bernama asli Maulana
Malik Ibrahim, hidup di Jawadwipa pada abad ke XIV. Majapahit didirikan oleh
Nararya Sanggramawijaya atau Rahadyan Wijaya pada abad XII. Ada rentang waktu selama seratus tahun lebih antara masa hidup Kanjêng Sunan Gresik dengan pendirian sebuah
kerajaan bernama Majapahit.
Kanjêng
Sunan Gresik adalah salah seorang anggota Majelis Wali (Wali Sangha, Wali
Songo). Majelis inilah yang mulai eksis di Jawadwipa, menjadi pemuka agama
Islam pada masa menjelang berakhirnya era Majapahit, ketika negeri itu dipimpin
Rahadyan Alit atau Bhre Kêrtabhumi (Brawijaya V), bukan pada masa pendirian
Majapahit.
Maulana
Malik Ibrahim, mendarat di desa Sembalo, Gerwarasi/Garisik (Gresik, Jawa Timur
sekarang) pada 1371 Masehi, kemudian menghadap Bathara Ring Majapahit untuk
meminta ijin memperkenalkan agama baru (Islam). Beliau diperkenankan melakukan
syiar Islam, dengan catatan tidak ada pemaksaan
dan pertikaian. Kepada sang auliya, sekaligus disematkan jabatan sebagai
Syah Bandar, tidak disebut bahwa beliau adalah Qadi. (Walisongo, Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan - Agus
Sunyoto)
Mengaji
atau membaca sejarah Majapahit, tidak bisa hanya menggunakan visualnya saja. Seperti
tulisan Sirna Ilang Kerta Ning Bhumi pada
pendharmaan Brawijaya V, Nogo Mulat Sariro Wani pada lawang blêdeg Masjid Agung Demak, atau juga Qadi
pada batu nisan Kanjêng Sunan Gresik. Banyak pralambang dalam tulisan kuno Jawa yang piningit (disembunyikan)
sehingga perlu dibedah lebih dalam lagi terjemahan dan tafsirannya.
Bagaimana
bisa, hanya berdasar tulisan Qadi pada
batu nisan Kanjêng Sunan Gresik, lantas dijadikan kesimpulan bahwa Majapahit
adalah sebuah kesultanan Islam?
Lambang Kerajaan.
Lambang
negara Majapahit adalah Surya Majapahit. Simbol dari satu mandhala semesta,
dengan menempatkan dewa-dewa khusus pada delapan arah mata angin. Lalu, tepat
di tengah mandhala, terdapat Bathara Syiwa sebagai sentralnya.
Saya
pernah, bahkan berkali-kali melihat dengan mata kepala sendiri, artefak dari
Surya Majapahit. Tidak ada satu pun guratan pada pahatan batu andesit itu
yang menunjukkan huruf hijaiyyah.
Bagimana bisa, penulis menyatakan bahwa pada Surya Majapahit terdapat delapan sifat,
asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid, dan Dzat?
Rahadyan Wijaya.
Majapahit didirikan oleh Rahadyah/Rahadyan (dipendekkan
menjadi Raden) Sanggramawijaya, putera Mahisa Campaka. Mahisa Campaka adalah
putera dari Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah putera Ken Angrok
dan Ken Dedes.
"Tumuli sira Rangga Wuni angadeg ratu. Kadi naga roro saleng lawan sira Mahisa Campaka. Sira Rangga Wuni abhiseka Wisnuwardhana karatunira, sira Mahisa Campaka dadi ratu angabhaya, abhiseka Bathara Narasinga". (Pararaton, Pupuh IV padha 18)
(Kemudian Ranggawuni menjadi raja. Dia dan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga di dalam satu liang. Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana, demikianlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi ratu Angabhaya, bernama nobatan Bathara Narasinga).
"Cri Rangga Wuni atinggal putra lanang, aran Cri Kêrtanagara; sira Mahisa Campaka atinggal putra lanang, aran raden Wijaya." (Pararaton, Pupuh V padha 19)
(Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya).
Pada kakawin Negarakertagama Pupuh XLV - XLVII disebutkan Dyah (Raden) Wijaya adalah putera Dyah Lembu Tal, cucu
dari Bathara Narasinga. Narasinga tidak lain adalah Mahisa Campaka. Raden Wijaya mangkat pada tahun Surya Mengitari Tiga Bumi yang berarti 1231 Caka. Jasadnya didharmakan di pura Antahpura, lalu dibangun sebuah arca Bathara Syiwa di sana.
Dari
kutipan kedua rontal kuno di atas, jelas bahwa Sanggramawijaya bukan seorang
Muslim. Di akhir hayatnya, jasadnya di dharmakan di candi Antahpura,
Simping.
Bagaimana bisa, Raden Wijaya dikatakan sebagai seorang Muslim, lalu dijadikan kesimpulan bahwa Majapahit adalah sebuah kesultanan Islam?
Gaj Ahmada Sebagai Patih Muslim.
Tidak
ada satu pun makam di Mojokerto, Jawa Timur yang dikenal sebagai makam
Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada. Jejak Mahamantri tersyohor itu seperti
lenyap di telan bumi pasca pengunduran dirinya dari pemerintahan Majapahit.
Gelar
kasatrian pada jaman Singosari dan Majapahit, lazim menggunakan nama-nama hewan
seperti Gajah, Lembu, Mahisa, Kebo, Jalak, dan sebagainya di depan nama asli.
Gajah Mada hanya satu di antara sekian banyak nama kesatria yang menggunakan
gelar Gajah. Selain sang pengikrar Sumpah Amukti Palapa itu, masih ada nama Gajah
Enggon, Gajah Para, Gajah Geger, Gajah Tanada, dan lain-lain di Majapahit.
Jika
nama Gajah Mada hanya untuk memudahkan penyebutan Gaj Ahmada seperti yang
dipaparkan penulis, dapatkah jika kesatria lain saya penggal penyebutannya
menjadi nama muslim Gaj Ahenggon, Gaj Ahpara, Gaj Ahgeger, Gaj Ahtanada?
Bagaimana
bisa, nama Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada dipenggal menjadi Gaj Ahmada dan
diklaim sebagai seorang patih muslim, lalu dijadikan kesimpulan bahwa Majapahit
merupakan kesultanan Islam?
Serangan Mongol ke Baghdad.
Pada
bagian ini, penulis memaparkan peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan anggapan bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam.
Jadi,
tidak perlu saya tafsirkan.
Kesimpulan.
Klaim
bahwa Majapahit merupakan sebuah kesultanan Islam, perlu untuk dikaji ulang
lebih mendalam.
Sebutan
bahwa Majapahit adalah Hindu juga kurang tepat. Pada masa itu, hanya dikenal aliran
pemuja Wisnu, Syiwa dan Sogata. Itu sebabnya, ada dua pejabat yang disebut Dharmadhyaksha ring Kasyiwan dan Dharmadhyaksha ring Kasogatan yang bertugas mengatur serta
mengawasi agama yang berkembang di Majapahit. Selanjutnya, sinkretisme ketiga keyakinan tersebut ber-infiltrasi dengan animisme leluhur Jawa, lalu dikenal sebagai Syiwa Sogata (Syiwa Buddha).
Seorang raja Majapahit yang meninggal, jasadnya akan dihormati dengan Pitri Yajnya, yaitu upacara penghormatan kepada manusia yang kembali ke alam keabadian. Upacara ini ditandai dengan Atiwa-tiwa, pembakaran jasad. Abu dari sang lina atau almarhum/mah akan ditanam di sebuah tempat, lalu dibangun pendharmaan berupa candi sebagai bangunan suci. Candi inilah yang selanjutnya dijadikan tempat pemujaan arwah raja, juga pemujaan kepada Sang Hyang Acintya, Tuhan seru sekalian alam. Di pendharmaan ini, akan dibuat pula sebuah arca Ista Dewata, dewa yang dipuja sang raja, dengan harapan arwah sang raja menyatu dengan dewa itu. Lazimnya, arca di pendharmaan berbentuk Bathara Syiwa.
Penampilan wanita bangsawan Majapahit, termasuk ratu, senantiasa membiarkan bagian tubuh dari perut hingga ke atas terbuka. Sebuah hiasan emas di dada, sama sekali tidak (bisa) untuk menutupi (maaf) payudaranya.
Semua kultur di atas, tentu menyimpang jauh dari syariat Islam, jika memang Majapahit dianggap sebagai kesultanan Islam.
Generasi
terakhir Majapahit berkedudukan di kota Dahanapura. Serangan besar oleh
kesultanan Islam Demak yang dipimpin panglima perangnya, Kanjeng Sunan Kudus,
mengakhiri perjalanan panjang kerajaan tersyohor itu. Sangat mustahil, sebuah
kekhalifahan Islam seperti Demak akan menyerang kesultanan Islam Majapahit jika
memang dianggap penulis sama-sama seiman. Islam.
Membaca
atau mengaji sejarah kerajaan besar seperti Majapahit, perlu dilakukan dari
berbagai aspek bukti. Bukan sekedar opini, apalagi asumsi. Jangan lupa bahwa
banyak prasasti, babad, kakawin, sêrat kuno dan forklore yang harus dikupas untuk dijadikan bahan pembanding.
Baik
saya maupun penulis Meluruskan Sejarah!
Kesultanan Islam Majapahit dan Patih Muslim Gaj Ahmada (Gajah Mada) di
atas, sama-sama tidak pernah hidup di jaman Majapahit. Tetapi membelokkan
sejarah Islam dan Majapahit di Brang Wetan dengan opini dan asumsi yang minim
bukti, sangat tipis bedanya dengan menistakan agama
Islam itu sendiri.
Tafsir
sejarah saya tentang Majapahit ini bisa saja salah. Pun juga dengan tulisan
yang dikutip sebuah media online dari beranda facebook seseorang yang saya
tanggapi ini, bisa benar, atau justru sebaliknya: perlu diluruskan balik!
Ayu, hayu, rahayu, wilujêng.
(Heru Sang Mahadewa)
Member
of One Day One Post
Rujukan:
Sêrat
Pararaton
Kakawin
Nêgarakêrtagama
Sabda
Palon, Damar Shasangka
Ahangkara,
Sengketa Kekuasaan Dan Agama - Makinuddin Samin
Walisongo,
Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan - Agus Sunyoto
wah ulasan cak Heru ini perlu di viralkan. karena ternyata banyak pembaca yang bingung semenjak ada tulisan BC kemarin, apa benar Majapahit kesultanan Islam?
BalasHapusSeperti yang cak Heru sampaikan bahwa penampilan wanita Majapahitnya tidak memenuhi syari'at Islam, itu sudah jelas menggambarkan keyakinan yang dianut kesultanan saat itu.
terimakasih sangat cak tulisannya. semoga banyak orang yang akan lebih bertanggungjawab saat menuangkan pikirannya, sehingga tidak membangun opini yang keliru bagi orang lain, terutama yang awam.