Jumat, 16 Juni 2017

BENARKAH MAJAPAHIT ADALAH SEBUAH KESULTANAN ISLAM?




Wilwatikta, nama lain Majapahit yang berasal dari bahasa sanskerta, vilva (buah Maja, aegle marmelos) dan tikta (pahit), kerajaan yang pernah berdiri di Brang Wetan Jawadwipa (tanah Jawa bagian timur) pada abad XII hingga XV, dianggap sebagai sebuah kesultanan Islam.

Sebuah media online, pada tanggal 14 Juni 2017 mengutip tulisan yang diposting di akun facebook seseorang dengan judul: Meluruskan Sejarah!!! Kesultanan Islam Majapahit dan Patih Muslim Gaj Ahmada (Gajah Mada).

Menurut penulisnya, berdasarkan penelitian untuk mengkaji ulang sejarah Majapahi, didapatkan hasil bahwa kerajaan yang pernah menguasai wilayah nusantara dan sebagian besar Asia Tenggara itu adalah sebuah kesultanan Islam.

Alasan penulis adalah sebagai berikut:


  • Ditemukannya koin emas Majapahit dengan lafal La Illaha Illallah Muhammad Rasulullah.
  • Terdapat tulisan Qadi (hakim agama Islam) pada nisan Maulana Malik Ibrahim.
  • Lambang kerajaan Majapahit berupa delapan sinar matahari dengan beberapa tulisan Arab, mencerminkan sifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat.
  • Pendiri kerajaan Majapahit, Raden Wijaya adalah seorang muslim. Beliau cucu dari Prabu Guru Dharmasiksa, raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan.
  • Patih kerajaan Majapahit yang terkenal dengan sumpah palapa, Gajah Mada adalah seorang muslim yang memiliki nama asli Gaj Ahmada. Saat ini, makamnya ada di Mojokerto dan dikenal sebagai Syaikh Mada.
  • Pada 1253 Masehi, Baghdad diserang oleh tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan. Terjadi eksodus kaum muslim dari Timur Tengah ke nusantara, terutama kaum Alawiyah yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.


Lalu, benarkah bahwa sebenarnya Majapahit adalah sebuah kesultanan Islam?

Inilah tafsir sejarah saya sebagai respon atas anggapan bahwa (faktanya) Majapahit adalah sebuah kesultanan Islam:

Adanya Koin Emas.
Koin emas bertuliskan huruf Arab, bukanlah satu-satunya uang yang pernah ditemukan di Majapahit. Foto yang dijadikan dasar penulisan hanyalah salah satu dari sekian banyak foto koin yang bisa kita jumpai di museum Trowulan.

Orang-orang dari negeri Ngatas Angin (sebutan bangsa asing di jaman Majapahit), termasuk dari Tiongkok, Champa dan Timur Tengah telah berdagang ke Jawa sejak jaman Panjalu. Tetapi tidak serta merta bahwa Panjalu adalah sebuah kesultanan Islam. Pun juga dengan teori koin emas ini terhadap Majapahit.

Bagaimana bisa, koin emas bertuliskan huruf Arab yang ada di museum Trowulan dijadikan kesimpulan bahwa negeri itu adalah sebuah kesultanan Islam?

Maulana Malik Ibrahim
Kanjêng Susuhunan Ing Garisik (manusia mulia di Gresik, disingkat Sunan) yang bernama asli Maulana Malik Ibrahim, hidup di Jawadwipa pada abad ke XIV. Majapahit didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya atau Rahadyan Wijaya pada abad XII. Ada rentang waktu selama seratus tahun lebih antara masa hidup Kanjêng Sunan Gresik dengan pendirian sebuah kerajaan bernama Majapahit.

Kanjêng Sunan Gresik adalah salah seorang anggota Majelis Wali (Wali Sangha, Wali Songo). Majelis inilah yang mulai eksis di Jawadwipa, menjadi pemuka agama Islam pada masa menjelang berakhirnya era Majapahit, ketika negeri itu dipimpin Rahadyan Alit atau Bhre Kêrtabhumi (Brawijaya V), bukan pada masa pendirian Majapahit.

Maulana Malik Ibrahim, mendarat di desa Sembalo, Gerwarasi/Garisik (Gresik, Jawa Timur sekarang) pada 1371 Masehi, kemudian menghadap Bathara Ring Majapahit untuk meminta ijin memperkenalkan agama baru (Islam). Beliau diperkenankan melakukan syiar Islam, dengan catatan tidak ada pemaksaan  dan pertikaian. Kepada sang auliya, sekaligus disematkan jabatan sebagai Syah Bandar, tidak disebut bahwa beliau adalah Qadi. (Walisongo, Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan - Agus Sunyoto)

Mengaji atau membaca sejarah Majapahit, tidak bisa hanya menggunakan visualnya saja. Seperti tulisan Sirna Ilang Kerta Ning Bhumi pada pendharmaan Brawijaya V, Nogo Mulat Sariro Wani pada lawang blêdeg Masjid Agung Demak, atau juga Qadi pada batu nisan Kanjêng Sunan Gresik. Banyak pralambang dalam tulisan kuno Jawa yang piningit (disembunyikan) sehingga perlu dibedah lebih dalam lagi terjemahan dan tafsirannya.

Bagaimana bisa, hanya berdasar tulisan Qadi pada batu nisan Kanjêng Sunan Gresik, lantas dijadikan kesimpulan bahwa Majapahit adalah sebuah kesultanan Islam?

Lambang Kerajaan.
Lambang negara Majapahit adalah Surya Majapahit. Simbol dari satu mandhala semesta, dengan menempatkan dewa-dewa khusus pada delapan arah mata angin. Lalu, tepat di tengah mandhala, terdapat Bathara Syiwa sebagai sentralnya.

Saya pernah, bahkan berkali-kali melihat dengan mata kepala sendiri, artefak dari Surya Majapahit. Tidak ada satu pun guratan pada pahatan batu andesit itu yang menunjukkan huruf hijaiyyah.

Bagimana bisa, penulis menyatakan bahwa pada Surya Majapahit terdapat delapan sifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid, dan Dzat?

Rahadyan Wijaya.
Majapahit didirikan oleh Rahadyah/Rahadyan (dipendekkan menjadi Raden) Sanggramawijaya, putera Mahisa Campaka. Mahisa Campaka adalah putera dari Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah putera Ken Angrok dan Ken Dedes.

"Tumuli sira Rangga Wuni angadeg ratu. Kadi naga roro saleng lawan sira Mahisa Campaka. Sira Rangga Wuni abhiseka Wisnuwardhana karatunira, sira Mahisa Campaka dadi ratu angabhaya, abhiseka Bathara Narasinga". (Pararaton, Pupuh IV padha 18)

(Kemudian Ranggawuni menjadi raja. Dia dan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga di dalam satu liang. Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana, demikianlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi ratu Angabhaya, bernama nobatan Bathara Narasinga).

"Cri Rangga Wuni atinggal putra lanang, aran Cri Kêrtanagara; sira Mahisa Campaka atinggal putra lanang, aran raden Wijaya." (Pararaton, Pupuh V padha 19)

(Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya).

Pada kakawin Negarakertagama Pupuh XLV - XLVII disebutkan Dyah (Raden) Wijaya adalah putera Dyah Lembu Tal, cucu dari Bathara Narasinga. Narasinga tidak lain adalah Mahisa Campaka. Raden Wijaya mangkat pada tahun Surya Mengitari Tiga Bumi yang berarti 1231 Caka. Jasadnya didharmakan di pura Antahpura, lalu dibangun sebuah arca Bathara Syiwa di sana.

Dari kutipan kedua rontal kuno di atas, jelas bahwa Sanggramawijaya bukan seorang Muslim. Di akhir hayatnya, jasadnya di dharmakan di candi Antahpura, Simping.

Bagaimana bisa, Raden Wijaya dikatakan sebagai seorang Muslim, lalu dijadikan kesimpulan bahwa Majapahit adalah sebuah kesultanan Islam?

Gaj Ahmada Sebagai Patih Muslim.
Tidak ada satu pun makam di Mojokerto, Jawa Timur yang dikenal sebagai makam Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada. Jejak Mahamantri tersyohor itu seperti lenyap di telan bumi pasca pengunduran dirinya dari pemerintahan Majapahit.

Gelar kasatrian pada jaman Singosari dan Majapahit, lazim menggunakan nama-nama hewan seperti Gajah, Lembu, Mahisa, Kebo, Jalak, dan sebagainya di depan nama asli. Gajah Mada hanya satu di antara sekian banyak nama kesatria yang menggunakan gelar Gajah. Selain sang pengikrar Sumpah Amukti Palapa itu, masih ada nama Gajah Enggon, Gajah Para, Gajah Geger, Gajah Tanada, dan lain-lain di Majapahit.

Jika nama Gajah Mada hanya untuk memudahkan penyebutan Gaj Ahmada seperti yang dipaparkan penulis, dapatkah jika kesatria lain saya penggal penyebutannya menjadi nama muslim Gaj Ahenggon, Gaj Ahpara, Gaj Ahgeger, Gaj Ahtanada?

Bagaimana bisa, nama Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada dipenggal menjadi Gaj Ahmada dan diklaim sebagai seorang patih muslim, lalu dijadikan kesimpulan bahwa Majapahit merupakan kesultanan Islam?

Serangan Mongol ke Baghdad.
Pada bagian ini, penulis memaparkan peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan anggapan bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam.

Jadi, tidak perlu saya tafsirkan.

Kesimpulan.
Klaim bahwa Majapahit merupakan sebuah kesultanan Islam, perlu untuk dikaji ulang lebih mendalam.

Sebutan bahwa Majapahit adalah Hindu juga kurang tepat. Pada masa itu, hanya dikenal aliran pemuja Wisnu, Syiwa dan Sogata. Itu sebabnya, ada dua pejabat yang disebut Dharmadhyaksha ring Kasyiwan dan Dharmadhyaksha ring Kasogatan yang bertugas mengatur serta mengawasi agama yang berkembang di Majapahit. Selanjutnya, sinkretisme ketiga keyakinan tersebut ber-infiltrasi dengan animisme leluhur Jawa, lalu dikenal sebagai Syiwa Sogata (Syiwa Buddha).

Seorang raja Majapahit yang meninggal, jasadnya akan dihormati dengan Pitri Yajnya, yaitu upacara penghormatan kepada manusia yang kembali ke alam keabadian. Upacara ini ditandai dengan Atiwa-tiwa, pembakaran jasad. Abu dari sang lina atau almarhum/mah akan ditanam di sebuah tempat, lalu dibangun pendharmaan berupa candi sebagai bangunan suci. Candi inilah yang selanjutnya dijadikan tempat pemujaan arwah raja, juga pemujaan kepada Sang Hyang Acintya, Tuhan seru sekalian alam. Di pendharmaan ini, akan dibuat pula sebuah arca Ista Dewata, dewa yang dipuja sang raja, dengan harapan arwah sang raja menyatu dengan dewa itu. Lazimnya, arca di pendharmaan berbentuk Bathara Syiwa.

Penampilan wanita bangsawan Majapahit, termasuk ratu, senantiasa membiarkan bagian tubuh dari perut hingga ke atas terbuka. Sebuah hiasan emas di dada, sama sekali tidak (bisa) untuk menutupi (maaf) payudaranya.

Semua kultur di atas, tentu menyimpang jauh dari syariat Islam, jika memang Majapahit dianggap sebagai kesultanan Islam.

Generasi terakhir Majapahit berkedudukan di kota Dahanapura. Serangan besar oleh kesultanan Islam Demak yang dipimpin panglima perangnya, Kanjeng Sunan Kudus, mengakhiri perjalanan panjang kerajaan tersyohor itu. Sangat mustahil, sebuah kekhalifahan Islam seperti Demak akan menyerang kesultanan Islam Majapahit jika memang dianggap penulis sama-sama seiman. Islam.

Membaca atau mengaji sejarah kerajaan besar seperti Majapahit, perlu dilakukan dari berbagai aspek bukti. Bukan sekedar opini, apalagi asumsi. Jangan lupa bahwa banyak prasasti, babad, kakawin, sêrat kuno dan forklore yang harus dikupas untuk dijadikan bahan pembanding.

Baik saya maupun penulis Meluruskan Sejarah! Kesultanan Islam Majapahit dan Patih Muslim Gaj Ahmada (Gajah Mada) di atas, sama-sama tidak pernah hidup di jaman Majapahit. Tetapi membelokkan sejarah Islam dan Majapahit di Brang Wetan dengan opini dan asumsi yang minim bukti, sangat tipis bedanya dengan menistakan agama Islam itu sendiri. 

Tafsir sejarah saya tentang Majapahit ini bisa saja salah. Pun juga dengan tulisan yang dikutip sebuah media online dari beranda facebook seseorang yang saya tanggapi ini, bisa benar, atau justru sebaliknya: perlu diluruskan balik!

Ayu, hayu, rahayu, wilujêng.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post

Rujukan:
Sêrat Pararaton
Kakawin Nêgarakêrtagama
Sabda Palon, Damar Shasangka
Ahangkara, Sengketa Kekuasaan Dan Agama - Makinuddin Samin
Walisongo, Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan - Agus Sunyoto

1 komentar:

  1. wah ulasan cak Heru ini perlu di viralkan. karena ternyata banyak pembaca yang bingung semenjak ada tulisan BC kemarin, apa benar Majapahit kesultanan Islam?

    Seperti yang cak Heru sampaikan bahwa penampilan wanita Majapahitnya tidak memenuhi syari'at Islam, itu sudah jelas menggambarkan keyakinan yang dianut kesultanan saat itu.

    terimakasih sangat cak tulisannya. semoga banyak orang yang akan lebih bertanggungjawab saat menuangkan pikirannya, sehingga tidak membangun opini yang keliru bagi orang lain, terutama yang awam.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *