disporbudpar.cirebonkota.go.id |
Sebelum
Islam marak di tanah Jawa, terdapat beberapa aliran keyakinan seperti pemuja
Syiwa, Wisnu (Hindu), Sogata (Budha) dan Kapitayan. Seiring waktu, muncul
sinkretisme keyakinan-keyakinan itu. Salah satunya adalah Bhairawa Tantra.
Sebuah sekte sempalan dari sinkretisme Syiwa dan Mahayana.
Bhairawa
Tantra adalah bentuk aliran pangiwa
(kiri) dari interpretasi ajaran Tantrayana. Sekte ini menyimpang dari ajaran Pancamakara pada Kitab Kali Mantra.
Salah
satu ritual dari Bhairawa Tantra dikenal dengan nama Pancamakarapuja. Saat melakukan upacara Pancamakarapuja, para
penganut pangiwa itu berkumpul di sebuah tempat pembuangan mayat yang disebut
Ksetra. Mereka membentuk sebuah cakra atau lingkaran. Lalu, akan dilakukan 5
ritual yang disebut Mo Limo, yaitu :
Mamsa
(daging)
Matsya
(ikan)
Mada
(mabuk)
Maithuna
(bersetubuh)
Mudra
(meditasi)
Ritual
Pancamakarapuja akan diawali dengan prosesi memakan daging dan ikan secara ramai-ramai.
Kemudian mereka menari-nari dan minum hingga mabuk. Dalam keadaan sakau, para
penganut Bhairawa Tantra akan melakukan persetubuhan secara massal. Upacara
diakhiri dengan meditasi, ketika tubuh mereka telah kehilangan nafsu birahi.
Pada
tingkatan khusus, daging, ikan dan minuman dalam ritual Pancamakarapuja
digantikan dengan mayat, ikan suro dan darah manusia yang dibunuh sebagai
persembahan.
Salah
satu tokoh legendaris yang menjadi penganut Bhairawa Tantra adalah
Adityawarman. Dia uparaja Majapahit yang berkuasa di wilayah Swarnadipa.
Adityawarman dinobatkan menjadi pemimpin Pagaruyung (Minangkabau) setelah
berhasil menyelesaikan tugas ekspansi Majapahit ke Bali bersama Gajah Mada.
Arca ritual Bhairawa Tantra - foto museum nasional |
Pada
abad IV, Islam semakin menancapkan pengaruhnya di tanah Jawa. Pelan namun
pasti, ajaran Rasul yang disebarkan ulama-ulama yang tergabung dalam Majelis
Wali (Wali Sangha, Walisongo) mulai mampu meng-Islamkan penduduk pribumi.
Namun, keyakinan-keyakinan lama peninggalan moyang mereka, belum sepenuhnya
tergusur.
Ketika
itu, Bhairawa Tantra masih marak di daerah Daha (Kediri, Jawa Timur, sekarang).
Maulana Makdum Ibrahim atau Kanjeng Susuhunan (manusia mulia, diucapkan Sunan)
Bonang, putera Sayyid Ali Rahmad atau Kanjeng Susuhunan ing Ngampeldenta (Sunan
Ampel) tergerak untuk menghilangkan aliran sekte Bhairawa Tantra.
Dari
Tuban, Kanjeng Sunan Bonang berjalan ke arah selatan hingga sampai di tepi
bengawan Brantas. Daha, basis penganut Bhairawa Tantra berada di sebelah timur
Brantas. Sedangkan tempat yang menjadi
persinggahan salah satu anggota Majelis Wali itu berada di sebelah barat
Brantas, bernama kabuyutan Singkal (Desa Singkal Anyar, Kecamatan Prambon,
Nganjuk, Jawa Timur sekarang).
Beberapa
waktu lamanya, Kanjeng Sunan Bonang menetap di kabuyutan Singkal. Ketika
penganut Bhairawa Tantra di seberang timur bengawan Brantas melakukan ritual
Pancakamarapuja, sebuah upacara tandingan juga dilakukan di seberang barat
bengawan Brantas.
Kanjeng
Sunan Bonang mengumpulkan seluruh penduduk laki-laki Singkal, lalu mengarahkan
mereka untuk duduk membentuk sebuah cakra atau lingkaran. Berbagai makanan
seperti nasi golong, daging ayam, dan sebagainya juga turut disiapkan di sana. Slametan, begitu sang auliya
mengenalkannya kepada orang-orang kabuyutan Singkal. Diambil dari bahasa Arab yaslamu-salamun yang artinya selamat. Menyelamatkan
orang-orang Daha dari ajaran menyimpang Bhairawa Tantra. Beliau juga menyebutnya
sebagai Kendurenan, diadopsi dari
bahasa Persia, Kanduri yang berarti upacara makan-makan.
Selanjutnya,
slametan atau kendurenan yang digagas Kanjeng Sunan Bonang dengan cepat merebak
ke kabuyutan-kabuyutan sekitar Singkal. Dalam kurun waktu beberapa tahun, prosesi
sedekah makanan yang di-islamisasi niat dan doanya itu kian marak di hampir
seluruh tanah Jawa. Pancamakarapuja orang-orang Bhairawa Tantra pun menjadi
tersudut oleh ritual tandingan itu.
slametan atau kendurenan - foto nuonline |
slametan atau kendurenan - foto kompasiana |
Tidak
berhenti sampai di situ, Kanjeng Sunan Bonang terus melanjutkan syiar islamnya
dalam memerangi aliran pangiwa Bhairawa Tantra. Mo Limo dalam Pancamakarapuja
di-islamisasi menjadi lima pantangan bagi masyarakat Jawa, jika ingin menemui
kemuliaan dalam perjalanan hidupnya.
Pantangan
hidup Mo Limo atau lima lafal “M” yang digubah Kanjeng Sunan Bonang adalah berikut:
Maling
(mencuri)
Madhat (menghisap
candu)
Minum
(mabuk minuman beralkohol)
Main
(berjudi)
Madon
(bermain perempuan)
Filosovi
pantangan Mo Limo dan slametan atau kendurenan berhasil mengikis habis aliran
Bhairawa Tantra. Kanjeng Sunan Bonang pun dikenal juga dengan nama lain Sunan
Wahdat Cakrawati atau Sunan Wahdat Anyakrawati. Berasal dari kata Cakra yang
artinya lingkaran, representasi dari posisi melingkar pada tradisi slametan
atau kendurenan.
Begitulah
awal dari slametan atau kendurenan, sebuah tradisi yang hingga sekarang masih
dilestarikan kaum muslim Jawa.
Ayu, hayu, rahayu wilujeng.
(Heru Sang Mahadewa)
Member of One Day One Post
Wow ngeri banget iku ajaran tantra.
BalasHapusDan baru tahu sejarahnya slametan
Begitulah, mbakyu.
HapusKalau jaman sekarang, mungkin semacam sekte terlarang begitu.
mas abad ke 15 ditulisnya XV bukan IV
BalasHapusOh, iya. Terima kasih koreksinya, Mas.
HapusMenambah wawasan.. di tengah popularitas youtube, blog masih tetap menawan..
BalasHapusterima kasih, Mase.
Hapusbairawa tantra telah menginsfirasi mereka membuat betoro sukma....yang pada perjalanannya melahirkan ilmu bgmn mengajak sukma mencuri (ngepet).mengundang perempuan (pelet).dan membunuh orang (santet).
BalasHapusdengan ini, orang akan tau sejarah...
BalasHapussejarah akan mengantarkan orang pada makna secara dhohir (syariat) dan bathin (hakikat)
rahayu...
Ilmu baru, baru tau asal usulnya slametan atau kenduren, tulisannya keren mas 🌸🌸
BalasHapus