Minggu, 18 Juni 2017

L(S)anggar, Peralihan Peradaban Kapitayan Menuju Islam



Jauh sebelum ajaran Wisnu, Syiwa dan Sogata (Hindu Budha) serta Islam masuk ke Jawadwipa, leluhur orang-orang Jawa sudah mengenal konsep beribadah.

Mereka meyakini bahwa ada zat niskala yang mengatur semesta. DIA tidak terlihat, tetapi ada. Tan Kena Kinaya Ngapa (tidak bisa disentuh, dipegang, dibayangkan seperti apa. Zat yang kemudian dinamakan Sang Hyang Taya. Taya artinya suwung (hening, kosong). Selanjutnya, keyakinan itu disebut (agama) Kapitayan. Pemuja Hyang Taya.

Sang Hyang Taya yang tan kena kinaya ngapa ini divisualkan dengan pohon, batu, dan lain-lain sebagai representasi alam. Mereka mendirikan sebuah bangunan persegi dengan lubang pada sisi-sisi dindingnya (simbol suwung) yang digunakan untuk tempat menyembah kepada Hyang Taya. Bagunan ini diberi nama Sanggar. Sementara ibadah mereka disebut Sembah Hyang. Menyembah Hyang (Taya).

Konsep puasa juga sudah dikenal dalam (agama) Kapitayan. Ada istilah----dina pithu----tujuh hari. Mereka meyakini bahwa phasa (menahan makan minum dan syahwat) pada----dina loro lan dina limo----hari kedua dan kelima, nilainya sama dengan phasa tujuh hari.

Selama ratusan tahun, (agama) Kapitayan mengakar kuat dalam sendi kehidupan orang-orang Jawa. Sejak abad VI hingga abad XIV, kedatangan orang-orang suku Lor dari Rum (Persia sekarang) tidak mampu meng-Islamkan leluhur Jawa.

Pada abad IV, Maulana Malik Ibrahim berlayar dari Timur Tengah dan sampai di Garisik (Gresik, Jawa Timur sekarang). Kemudian, menyusul Ibrahim As-Samarqand dari Champa bersama dua putranya, Sayyid Ali Murtadlo dan Sayyid Ali Rahmad, lalu mendarat di Kambang Putih (Tuban, Jawa Timur sekarang).

Maulana Malik Ibrahim menghadap Bathara Ring Majapahit untuk meminta ijin melakukan syiar Islam. Beliau diperkenankan, dengan catatan tidak ada pemaksaan dan pertikaian. Kepadanya, disematkan pula jabatan sebagai Syah Bandar ing Garisik.

Sementara, As-Samarqand jatuh sakit begitu sampai di Kambang Putih. Beliau mangkat dan dimakamkan di sana. Sayyid Ali Murtadlo dan Sayyid Ali Rahmad berjalan menuju Antawulan. Mereka menemui bibinya, Amarawati yang dinikahi penguasa Majapahit, Kertabhumi. Keduanya diterima dengan suka cita, kemudian diberi keleluasaan untuk melakukan syiar Islam di Ngampeldenta, dekat Ujung Galuh.

Seiring perjalanan waktu, berdirilah Majelis Wali yang dikenal dengan sebutan Wali Sangha, Walisongo. Maulana Malik Ibrahim dan Sayyid Ali Rahmad menjadi Wali senior. Walisongo inilah yang merubah gaya dakwah Islam. Beliau-beliau belajar dari kegagalan selama 800 tahun Islamisasi Jawa. Salah satu sendi kehidupan yang diamati, lalu diambil sebagai referensi adalah peradaban (agama) Kapitayan.

Konsep phasa dina loro dan pithu tidak dihilangkan, tetapi dibelokkan niat dan sebutannya menjadi puasa sunah senin dan kamis. Senin adalah hari kedua, sedangkan kamis adalah hari kelima.

Sanggar, tempat ibadah Kapitayan juga tidak dihilangkan. Tetapi pelan-pelan diarahkan menjadi rumah ibadah ajaran baru. Islam. Walisongo kemudian merubah penyebutannya menjadi Langgar. Arsitektur sanggar dengan lubang pada sisi-sisi dindingnya, sekarang masih banyak kita jumpai pada bangunan langgar kuno di Jawa.

Begitulah, Islamisasi pribumi di Jawadwipa tidak dilakukan dengan konsep gemar meng-kafir-kan orang lain. Tidak pula dengan men-taghut-kan penguasa. Tetapi dengan pendekatan kultur. Pribumisasi Islam.

Ayu, hayu, rahayu wilujêng.

(Heru Sang Mahadewa)
Member of OneDayOnePost

1 komentar:

  1. boleh Tanya?...
    Sebenarnya sanggar tempat ibadah kapitayan yang tertua di temukan dimana?

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *