Dalah kisah wayang purwa, Indratanaya (Arjuna) adalah sosok kesatria yang bukan hanya tampan, tetapi juga memiliki kesaktian tiada tanding berkat Panah Ardadêdhali: pusaka berwujud anak panah yang mampu meruntuhkan langit (menjatuhkan hujan badai) dan menghalau/menangkap halilintar.
Panah Ardadêdhali diperoleh Indratanaya dari ayahnya, Bathara Indra, dewata penguasa langit. Konon, pusaka ini yang pernah menyapu Bêgawan Sêmpani hingga tewas di Kuru Setra. Pertapa sakti itu secara sembunyi-sembunyi membantu putera angkatnya, Jayadrata yang telah mati dengan menghidupkannya lagi. Jayadrata adalah Kurawa yang menjadi eksekutor Abimanyu saat dikeroyok seratus musuh. Indratanaya lantas membalas kematian puteranya dengan memenggal kepala Jayadrata.
Di tanah Jawa, pada masa Kesultanan Demak pernah gempar oleh seorang waskita bernama Ki Agêng Sela/Ki Agêng Ngabdurrahman yang konon memiliki kesaktian seperti Panah Ardadêdhali. Dengan tangan kosong, dia mampu menangkap halilintar.
Ki Agêng Sela adalah putera dari Ki Ageng Gêtas Pandawa atau cucu dari Raden Bondan Kêjawan (Raden Lêmbu Pêtêng). Raden Bondan Kêjawan adalah putera Bhré Kêrtabhumi (Brawijaya V) dan Bondrit Camara, perempuan asal Wandan (pulau Banda sekarang) yang awalnya seorang Cêthi, pelayan kedhaton.
Ki Agêng Sela juga guru dari Jaka Tingkir (Mas Karebet), menantu Panêmbahan Trênggana, Sultan Demak ketiga yang kelak menjadi penguasa Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya.
Suatu sore ba'da Ashar, Ki Agêng Sela sedang mencangkul di sawah. Langit menggelap, mendung pekat seperti mau runtuh. Kilat sesekali menjulur-julurkan lidahnya. Dalam sekejap, hujan turun dengan lebat disertai suara halilintar yang menggelegar. Orang-orang berhamburan lari pulang. Tetapi Ki Ageng Sela tetap melanjutkan pekerjaannya. Sebuah kilat menyambar gagang cangkulnya.
Ki Agêng Sela murka!
Bersamaan dengan suara gelegar, dia menangkap halilintar itu dengan genggaman tangannya. Halilintar berubah wujud menjadi sebongkah batu. Ki Agêng Sela lalu menyerahkan ke Kesultanan Demak. Dia memberi pesan agar jangan sampai batu itu terkena air.
Konon, datang seorang penyusup membawa sebuah bathok (tempurung) kelapa berisi air. Dia menyiram batu petir yang dikurung dalam jeruji besi. Terdengar suara menggelegar seperti halilintar. Seketika, batu itu lenyap bersama kilat cahanya.
Untuk mengenang kisah itu, dibuatlah sebuah ukiran kayu berwujud tanaman yang memiliki kepala seperti binatang. Inilah simbol dari halilintar yang pernah ditangkap Ki Agêng Sela.
Kini, ukiran indah itu terpasang sebagai salah satu pintu di Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Orang-orang menyebutnya sebagai Lawang Blêdhèg atau Pintu Halilintar.
Heru Sang Mahadewa
Member of #OneDayOnePost
Sumber gambar: imgrum.com
Catatan:
Dalam bahasa ilmiah, batu petir disebut Fulgurite. Bebatuan yang terjadi karena hantaman petir ke partikel-partikel di atmosfer, kemudian mengkristal dan ikut jatuh ke bumi.
0 komentar:
Posting Komentar