PUPUH XIV
PANGKUR 9
Maka yang terlihat, semua orang Surabaya
menjijikkan, juga nista, budinya tidak ada. Hanya segitu membela ratunya,
seorang Wali dan Kalifatullah, yang tidak mampu mereka perjuangkan.
PANGKUR 10
Sebenarnya kalian ini manusia berbudi atau urakan?
Alih-alih mengerti akan kebaikan, semua tertunduk menangis sesenggukan, para
prajurit Surabaya. Ki Tumenggung Sepanjang lalu berkata, duh-aduh, andai bisa hidup
tujuh kali pun, kami semua.
PANGKUR 11
Hidup atau mati tetap jangan berpisah, dengan
Kangjeng Pangeran Pekik yang memangku Surabaya, biarlah kami para prajurit
tumpas terlebih dulu. Janganlah buru-buru paduka, pulang, sebelum seluruh
pasukan Surabaya, gugur menjalankan kewajiban perang.
PANGKUR 12
Meskipun kami hanya tinggal satu, tetap akan tumpas
Sunan Giri. Jika paduka tetap tinggal, di kelanggengan, kami hanya ingin mengabarkan
kepada paduka, Sunan Giri yang membangkang, telah menemui kematian.
PANGKUR 13
Dia masih musuh kami, beserta keturunannya dimana
pun, tetap menjadi musuh, jika belum kesampaian, bisa membalas semua
perbuatannya kepada gusti kami. Kangjeng Ratu Pandhansari dan sang suami,
bangga mendengarnya.
PANGKUR 14
Ucapan para punggawa, semua meneguhkan perasaan,
kesetiaan yang tulus dari kalbu, tanpa ada dusta di bibir mereka. Serentak
mereka memohon restu untuk perang pupuh (perang hingga titik darah
penghabisan), menggempur lagi kedhaton Giri, yang diperkirakan tuntas dalam
sehari.
PANGKUR 15
Sang Sunan Giri akan menjadi tawanan, harta benda
dan istrinya akan kami boyong. Ratu Pandhansari berkata lembut, jika kalian telah
bertekad kembali perang, aku ingin kita memilih perang pupuh. Andai kalah, kita
semua siap mati bersama-sama.
PANGKUR 16
Para prajurit menghaturkan sembah, percayalah
dengan kehancuran Giri Kedhaton. Seyogyanya, gusti ratu menunggu di
pesanggrahan (tenda pasukan), mengistirahatkan badan paduka. Kangjeng ratu
Pandhansari berkata lembut, pengabdian kalian kepadaku.
..................
BERSAMBUNG
-o0o-
Bagian selanjutnya, baca [ DI SINI ]
Judul asli:
Suluk Tambangraras
Pengarang:
KGPAA Amengkunegara III (Sunan Pakubuwana
V)
Raden Ngabehi Yasadipura II (Ranggawarsita
I)
Raden Ngabehi Sastradipura (Ahmad Ilham)
Raden Ngabehi Ranggasutrasna
Dituturkan ulang oleh:
Heru Sang Mahadewa
(Member Of One Day One Post)
Wah saya telat mengikuti... Jadi kurang paham ini apaan.. Hehehe
BalasHapusSalut sama keistiqomahan mas Heru menulis tentang pewayangan...
Semoga kelak benar-benar menjadi budayawan yang amanah.. Aamiin...
Aamiin.
HapusJarang jarang ada cerita beginian.suka saya..
BalasHapuspenggalan kalimat per kalimatnya pasti terasa janggal, karena saya tuturkan sesuai susunan kalimat dan bait aslinya dari Serat Centhini.
HapusMemang kurang paham kalau tidak mengikuti. Tp entah mengapa saya suka.
HapusBoleh bertanya gk? Adakah perubahan naskah asli dengan tulisan ini? Atau disadur saja dengan sedikit perubahan kecil pada? Terimakasih.
BalasHapusSaya tidak merubah isinya, mas.
HapusPerbedaannya terletak pada bahasa: naskah asli berbahasa Jawa Kuno dan Sanskerta, sedangkan terjemahan saya berbahasa Indonesia.
Terima kasih sudah mampir.
Ayo terus menulis.