Rabu, 04 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 2



Surya Majapahit - image google

HAYAM WURUK



Majapahit gempar!
Sesaat setelah Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah Amukti Palapa, mendadak tanah bergetar. Terdengar gemuruh dari Brang Kidul. Semua orang panik. Bumi terasa bergoncang. Seakan-akan ingin melemparkan semua makhluk yang berpijak diatasnya.

Langit menjadi gelap gulita. Tak ada hujan. Tetapi suara gemuruh masih meraung-raung. Dususul gemelegar yang membuat para penghuni bumi semakin ketakutan.  Tak berselang lama, hujan pasir dan abu mengguyur tanah Trowulan.

Di sebuah bilik kedaton, Tribuwana Tunggadewi merintih-rintih kesakitan di peraduan. Chakra Dhara, suaminya ikut gelisah disamping sang ratu. Digenggamnya tangan sang istri. Dibelai rambutnya. Sesekali ia mengusap keringat yang bercucuran di wajah wanitanya. Membesarkan hati penguasa Majapahit yang sedang berjuang melepas dorongan rasa nyeri dari rahimnya.

“Sakit kakang Chakra!” Rintih Ratu Tribuawan Tunggadewi.

“Bertahanlah Adinda,  Nyai Jabangsari sedang dalam perjalanan. Prajurit dan para emban sudah menjemputnya.” Sang suami berusaha menenangkan ratu. Nyai Jabangsari yang akan menolong persalinannya tak lama lagi akan tiba di kedaton.

Seorang emban merunduk masuk ke kedaton. Sambil menghaturkan sembah, ia duduk bersimpuh di depan pintu bilik ratu.

“Permisi paduka ratu dan kanjeng Chakra Dara. Nyai Jabangsari sudah datang. Mohon ampun, perjalanan kami terlambat. Gunung Kelud di Brang Kidul meletus.” Jelas si emban kepada Tribuwana Tunggadewi dan Kerta Wardhana (nama lain dari Chakra Dhara).

“Cepat suruh masuk kemari. Istriku sudah terlalu lama menahan rasa sakit!” Perintah Chakra Dhara. Perasaannya sedikit lega setelah melihat rombongan penjemput Nyai Jabangsari, tabib wanita yang biasa menolong persalinan kerabat istana telah tiba.

Terlihat seorang wanita setengah uzur memasuki bilik dikawal para emban. Dengan cekatan Nyai Jabangsari mengeluarkan beberapa ramuan dari sebuntal kain yang dibawanya dari rumah.

“Sembah hamba kepada ratu Tribuwana Tunggadewi dan kanjeng Chakra Dhara. Ijinkan hamba menolong persalinan ratu.” Penuh kehati-hatian Nyai Jabangsari mendekati tempat ratunya berbaring.

“Ampun paduka, hendaknya kanjeng Chakra Dhara menunggu diluar bilik. Serahkan pada hamba.” Pinta Nyai Jabangsari.

****

Chakra Dhara semakin gelisah. Di ruang kedaton, ia mondar-mandir mengitari paseban. Sebentar duduk, sebentar berdiri lagi. Suara Tribuwana Tunggadewi yang terus merintih-rintih dari dalam bilik membuatnya semakin resah.

Terdengar jeritan tangis jabang bayi melengking-lengking. Kerta Wardhana lega. Bergegas ia masuk melihat istri dan bayinya. Tampak Nyai Jabangsari sedang membersihkan cairan yang berlumuran di tubuh bayi. Sementara ratu Tribuwana Tunggadewi tersenyum menatapnya. Masih tergolek lemah di peraduan.

"Putra Mahkota kita laki-laki kakang." Ucap sang ratu ketika Chakra Dhara menghampiri dan memeluknya.

"Penerus tahta Majapahit telah terlahir. Kabar gembira ini harus disebarkan ke seluruh penjuru negeri!" Jawab Kerta Wardhana penuh kebanggaan.

"Ampun paduka ratu, ini bayinya. Gagah perkasa, calon raja kami." Nyai Jabangsari mengulurkan sang putra mahkota yang baru lahir itu ke pasangan ratu dan rajanya.

"Ari-ari si jabang bayi ini harus segera dikubur atau dilarung paduka. Kelak ia akan menjadi penjaga bagi raja." Jelas Nyai Jabangsari. Ditunjukkannya sebuah benda berbungkus kain putih. Ia masukkan ke dalam sebuah Kekep.

Dalam tradisi Majapahit, ari-ari calon seorang raja harus dilarung ke sungai Brantas. Agar terbawa aliran dan berkelana ke samudera luas. Sebagai simbol sebuah harapan bahwa kelak sang raja akan mengepakkan wilayah kekuasaannya hingga ke seberang samudera sana.

"Prajurit, panggil kakang Gajahmada di Kepatihan!" Perintah Chakra Dhara. Ia hendak memberi kabar kelahiran putra mahkota ini kepada sang Mahapatihnya.

Tak lama kemudian datang lelaki bertubuh tinggi besar dengan pakaian kebesaran punggawa Majapahit. Beberapa prajurit yang menjaga gerbang kedaton membungkuk hormat. Gajah Mada, Mahapatih yang dipanggil Kerta Wardhana menemuinya di bale kedaton.

"Kakang Mada, bayiku laki-laki. Putra mahkota telah terlahir!" Chakra Dara mengabarkan persalinan ratu Tribuwana Tunggadewi.

"Ini anugerah dewata paduka. Calon raja Majapahit telah diturunkan ke bumi bersamaan dengan Sumpah Amukti Palapa!" Jawab Gajah Mada.

"Kakang Mada, larungkan ari-arinya. Putra Mahkota ini kuberi nama Hayam Wuruk!" Chakra Dhara mengulurkan sebuah Kekep yang terbungkus kain putih.

Gajah Mada menyembah. Diterimanya benda itu. Seketika bumi Majapahit kembali bergetar. Disusul hujan pasir dan abu. Suara gemuruh dari Brang Kidul meraung-raung lagi. Gemelegar!

Kelahiran Hayam Wuruk, putra mahkota Majapahit ditandai dengan gempa di tanah Trowulan. Diiringi letusan gunung Kelud pada tahun 1334 Masehi.

*****


Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ] 

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
--------------------------
Catatan :
Brang Kidul = Arah (wilayah) selatan.
Kedaton = Tempat tinggal ratu atau putri raja di komplek istana kerajaan.

20 komentar:

  1. Larut dalam cerita. Jadi tahu lahirnya hayam wuruk. Favorit aku nih hehe

    BalasHapus
  2. Harusnya guru IPS sejarah disekolah belajar sama Mas Heru. Pandai menyampaikan sejarah dengan cara yg menyenangkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ... nanti dikomplain Lisa. Saya bukan guru soalnya.

      Hapus
  3. Awal kemunduran Majapahit. Perang Bubat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Meski masih kontroversi, tetapi inilah awal retaknya hubungan Hayam Wuruk & Gajah Mada.

      Hapus
  4. sajian sejarah yang enak dibaca..

    BalasHapus
  5. sajian sejarah yang enak dibaca..

    BalasHapus
  6. Oke lanjut baca yang ke 3, hehe....
    Sumpah palapa, wow...

    BalasHapus
  7. wah.. aku pikir selama ini Patih Gajah Mada seumuran sama Raja Hayam Wuruk.. huwahahahaha ketahuan deh nilai Sejarahku parah banget!!!

    BalasHapus
  8. Gajah Mada mengabdi di tiga raja Majapahit.
    Jayanegara, Tribuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk.

    BalasHapus
  9. Wuiihhh....berasa nyata, kayak aq ada d zaman kerajaan... asyik penjabaran ceritanya....

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *