GAJAH MADA
Malam harinya, Ki
Gede Sidowayah, Nyai Wora Wari dan Jaka Mada asyik bercengkerama di beranda
rumah. Beberapa potong tales dan uwi rebus tampak menemani mereka di meja
serambi. Menambah obrolan dua pengasuh
dan momongannya itu menjadi gayeng.
“Jika Dewata Agung
mengabulkan do’aku, biyung harap kamu
tidak lupa diri ya thole.” Ucap Nyai Wora Wari.
“Menjadi seorang abdi dalem harus memiliki jiwa lelabuh yang tinggi.” Lanjutnya.
“Injih biyung. Mada akan selalu mengingat
pesan biyung.” Jawab Jaka Mada. Ia
terlihat serius mendengarkan semua petuah wanita renta yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri.
Nyai Wora Wari memberi
wejangan panjang lebar kepada Jaka Mada. Ia berharap momongannya tetap menjadi
Jaka Mada yang penuh bhakti seperti sekarang ini. Meski kelak akan hidup di
lingkungan kedaton.
“Apalagi jika
firasat bopo menjadi kenyataan. Kelak
kamu akan menjadi seorang kesatria besar disana thole.” Ki Gede Sidowayah menambahkan. Si Empu tua itu juga tak henti-hentinya memberi nasehat.
“Garis tulangmu
itu seperti gajah. Kokoh, besar dan
bertenaga luar biasa thole.” Lanjut
Ki Gede Sidowayah.
“Bukan mustahil
jika takdirmu nantinya adalah menjadi perisai negeri ini. Majapahit.” Tutur Ki
Gede Sidowayah.
Jaka Mada hanya
tersenyum. Cita-cita menjadi seorang prajurit Majapahit yang memang selama ini
ia impikan. Semoga firasat dan ucapan boponya
adalah bisikan Dewata Agung, batinnya.
“Terima kasih bopo.”
Jawab Jaka Mada.
“Semoga Dewata
Agung menjadikan ucapan bopo sebagai
sabda pandita ratu yang menjadi kenyataan.” Tutup Jaka Mada.
Ki Gede Sidowayah
meninggalkan beranda sejenak. Ia melangkah memasuki bilik rumahnya. Tak
berselang lama, si Empu kembali
dengan membawa sebuah benda yang terbungkus kain putih.
“Thole, mendekatlah kemari!” Ucap Ki Gede
Sidowayah.
“Iya bopo.” Jawab momongannya.
Ki Gede Sidowayah
membuka benda yang dibawanya tadi. Tampak sebuah keris dipegangnya dengan penuh
hati-hati. Perlahan ia menghunus pusaka itu dari rangkanya.
Seketika terpancar
sinar berkilauan dari benda berbentuk runcing yang dipegang Ki Gede Sidowayah.
Hembusan angin yang tadinya semilir berubah menjadi terpaan kencang. Daun-daun
pepohonan juga berguguran tak kuasa menahan tiupannya. Tanah disekitar mereka
mendadak bergetar.
“Bopo menempa pusaka ini dengan tirakat
sebulan penuh thole.” Ucap si Empu
yang membuat keris itu saat Jaka Mada masih kanak-kanak.
“Keris ini bukan
sembarang wesi aji. Tidak semua orang
bisa memilikinya.” Lanjut Ki Gede Sidowayah. Sesaat diacungkannya benda itu
keatas. Kilauan cahayanya berkelebat ke semua penjuru. Membuat mata yang
memandangnya silau.
“Ternyata ia berjodoh
denganmu. Saat kamu masih kecil dulu pernah memegangnya. Khodamnya keluar
menyatu dengan dirimu Mada!” Jelas si bopo.
“Benarkah bopo?” Jaka Mada takjub melihat
pemandangan dihadapannya. Keris yang
dipegang Ki Gede Sidowayah itu seolah menari-nari ingin mengajak ia untuk
segera meraihnya.
“Bopo menyimpannya lama. Menunggu waktu
yang tepat untuk memberikan kepadamu. Sekarang terimalah ini!” Jelasnya sambil
mengulurkan benda yang masih bersinar itu kepada Jaka Mada.
Jaka Mada
meraihnya. Seketika kilauan cahanya dari Keris
Luk Pitu memancar lebih luas. Menyeruak keluar halaman, mengangkasa dan menembus
langit desa Modo. Disusul gemelegar suara halilintar menyahutnya.
“Dengan keris itu,
kamu akan menjadi perisai Majapahit. Jangan adigang
adigung adiguno ya thole!” Tutur
Ki Gede Sidowayah.
“Injih bopo. Mada akan senantiasa
memegang teguh nasehat bopo biyung.”
Jawab Jaka Mada. Sesaat ia menatap benda pusaka yang digenggam dan
diacungkannya. Lalu perlahan ia masukkan lagi ke rangkanya.
*****
Nyai Wora Wari
menangisi kepergian Jaka Mada. Bagaimanapun juga momongannya itu sudah menjadi
buah hatinya seperti anak kandung sendiri. Hari itu jabang bayi yang dulu ia
selamatkan dari gunung Ratu akan meninggalkannya. Memulai petualangan di tanah
kotaraja.
“Jaga dirimu
baik-baik ya thole! Do’a biyung senantiasa mengiringi setiap
langkahmu. Jangan lupa selalu mendekatkan diri kepada Dewata Agung, Sang
Pencipta kita!” Pesan terakhir Nyai Wora Wari saat Jaka Mada mencium tangannya
berpamitan.
“Injih biyung. Mada berangkat sekarang.”
Jawab Jaka Mada
“Aku mengantarkan si
thole dulu ya Nyai. Jaga dirimu juga!”
Ucap Ki Gede Sidowayah sambil berjalan disamping Jaka Mada yang menuntun seekor
gudel. Hewan piaraannya yang akan
diadunya di kotaraja tiga hari lagi.
Nyai Wora Wari
melambai-lambaikan tangan. Mengantar kepergian Ki Gede Sidowayah dan Jaka Mada
hingga sampai di halaman rumah. Ia menatap kakak lelaki dan momongan
kesayangannya itu hingga keduanya hilang di ujung desa Modo.
*****
Sehari perjalanan,
akhirnya Jaka Mada sampai di tepian hutan Tarik. Tak jauh lagi mereka tiba di
tanah Trowulan. Ki Gede Sidowayah yang setia mengantarnya mengajaknya beristirahat.
“Kita
beristirahat dulu thole. Kotaraja
sudah kelihatan dari tepi hutan Tarik ini.” Ia menunjuk ke sebuah arah.
“Baiklah
bopo.” Jawab Jaka Mada. Ia
menambatkan gudelnya ke sebuah pohon Mojo yang banyak tumbuh di hutan itu. Lalu
duduk bersimpuh di dekat Ki Gede Sidowayah. Kembali ia memegangi benda yang terselip
dibalik bajunya.
Benda pusaka yang
kelak benar-benar akan membawanya menaklukkan tanah Trowulan, Majapahit. Bahkan
wilayah Nusantara.
Keris Luk Pitu!
*****
BERSAMBUNG
Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan
:
Thole
= Nak (panggilan untuk anak lelaki).
Biyung
= Ibu.
Bopo
= Bapak.
Empu
= Pembuat senjata tradisional Jawa.
Lelabuh = Mengabdi.
Uwi = Ubi.
Tales = Talas.
Wesi aji = Besi mulia (besi pilihan), bahan membuat pusaka.
Adigang
adigung adiguno = Sombong dengan kekuatan,
kedudukan, atau latarbelakang.
Keris
Luk Pitu = Senjata
tradisional Jawa, dengan motiv ukiran tujuh lekukan.
Injih = Iya.
Bener bener bisa menikmati kisahnya setelah digubah menjadi cerpen ni kang
BalasHapusMakasih mbakyu ..
HapusTirakatnya ngapain aja yah mas ? Puasa ?
BalasHapusIya btl aa
HapusHaru sekaligus bahagia. jd lebih mengenal sosok GajahMada
BalasHapusHehehe ... terima kasih mbk Na
HapusMelalui tulisanmu, mengenal sejarah dengan asyik
BalasHapusaku yo sama2 belajar.
HapusBang heru, ni mada di usia berapa? Hehe
BalasHapusAdigang adigung adiguno = Sombong dengan kekuatan, kedudukan, atau latarbelakang.
#baru tahu artinya ni hari, hee
Usia berapa ya??
HapusBelum ada prasasti yang ditemukan ttg usai Gajah Mada kala itu mbk Ainayya .. hehe
Cerita berbau sejarah tanah jawa selalu terlihat keren di mata saya.
BalasHapusLe, Mada, terusno baktimu marang bapa lan biyung.
Semangat mas Her, lanjutkan sampe part 20 :D
Siap mbk Dymar ... hehehe :)
Hapus