Rabu, 18 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 13



Gajah Mada - image google

JAYANEGARA

Menjadi raja saat menginjak masa puber, membuat Prabu Jayanegara tak mampu mengendalikan gejolak jiwa mudanya. Dengan kekuasaan dan kekuatannya, ia seringkali mengeluarkan kebijakan yang kontroversi. Suka berfoya-foya dan jarang melakukan sesembahan ke Dewata Agung.

Nasehat dari para brahmana dan tetua kedaton ia anggap seperti angin lalu. Prabu Jayanegara bahkan membentuk sepasukan surveyor yang ia tugaskan berkelana ke seluruh penjuru negeri Majapahit. Pasukan itu bertugas mencari gadis-gadis yang berparas jelita, lalu dikirim ke kotaraja Majapahit. Dara-dara terpilih itu akan menemani sang prabu untuk menghabiskan malam-malamnya.

“Kita harus melawan! Kebijakan gusti prabu sudah melampaui batas!” Ucap Arya Semi, ketika para punggawa kedaton berkumpul di kediaman salah seorang Dharmaputra, Arya Pengalas.

“Tapi tidak mungkin kita membangkang kakang!” Jawab Arya Pengalas. Bekel yang bertugas di taman petirtaan itu masih bimbang.

“Pikirkan sekali lagi kakang Semi. Menentang gusti prabu sama saja dengan memberontak. Kita pasti akan ditumpas!” Lanjutnya.

Dua orang Dharmaputra itu sedang serius berdiskusi, membahas perkembangan jalan pemerintahan yang semakin carut marut. Sang Prabu Jayanegara bukan hanya doyan main perempuan, tetapi juga melupakan semua tugasnya sebagai pemimpin negeri. Jalannya roda pemerintahan tak pernah ia sentuh. Hari-harinya hanya diisi dengan madat dan bermain wanita.

*****

Fajar belum beranjak. Sinar Matahari masih tertutup gagahnya gunung Arjuno dan Welirang yang berdiri megah di timur kotaraja Majapahit.  Disebuah taman petirtaan, tampak Jaka Mada sedang sibuk membersihkan tempat para raja dan keluarga kedaton bermandi.

Ia dikenal sebagai prajurit yang paling rajin. Disaat semua orang masih lelap tertidur, pagi-pagi sekali momongan Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari itu sudah menyiapkan segala keperluan keluarga raja di petirtaan.

“Mada, kemarilah!” Terdengar suara memanggilnya. Seorang bekel sudah berdiri di gerbang petirtaan.

“Iya kanjeng!” Jawab Jaka Mada.

“Segera siapkan segala keperluan, pagi ini Prabu Jayanegara akan bersenang-senang di petirtaan bersama para teman wanitanya!” Perintah sang bekel, Arya Pengalas.

“Sendiko dawuh kanjeng. Semua sudah saya bereskan sejak tadi. Setiap saat taman petirtaan ini selalu terawat dengan baik.” Jaka Mada meyakinkan sang bekel.

“Baguslah Mada, aku selalu bangga dengan pekerjaanmu!” Puji Arya Pengalas. Sejak kedatangan Jaka Mada di pasukannya, tugasnya terasa lebih ringan. Anak muda yang ditugaskan di petirtaan itu sangat rajin dan ulet.

“Terima kasih kanjeng.” Jaka Mada berbalik dan hendak menuju kolam, untuk memastikan lagi hasil pekerjaannya.

“Mada, tunggu!” Sang bekel memanggilnya lagi.

“Aku lupa, sejak menjadi abdi dalem, kamu belum menobatkan nama keprajuritanmu!” Ucap Arya Pengalas.

“Iya kanjeng, Mada tak pernah berambisi memakai gelar kesatria itu.” Jelas Jaka Mada.

“Aku mengerti Mada. Tetapi gelar kesatria itu tetap harus melekat kepada semua abdi dalem. Aku nobatkan kamu dengan gelar Gajah!” Lanjut sang bekel.

“Tubuhmu kokoh dan tinggi besar, laksana gajah. Kamu pantas memakai nama itu Mada. Mulai sekarang, gelar kesatriaanmu adalah Gajah Mada!” Tutup Arya Pengalas.

“Terima kasih kanjeng Arya Pengalas. Gelar kesatriaan ini akan saya pegang teguh sebagai amanah untuk menjadi perisai negeri.” Balas si abdi dalem dari desa Modo itu.

Tak lama kemudian, Prabu Jayanegara datang ke taman diiringi beberapa wanita cantik. Gajah Mada, Arya Pengalas beserta para prajurit yang bertugas di taman segera menyambutnya.

“Silahkan Gusti Prabu. Semua sudah kami persiapkan!” Sambut Arya Pengalas. Ia segera mengatur para prajuritnya untuk berjaga di gerbang petirtaan.

Prabu Jayanegara hanya mengangguk, tak menjawab sambutan para penjaga taman petirtaan itu. Ia hanya merengkuh tangan seorang wanita disampingnya. Menggandengnya, lalu masuk ke dalam petirtaan. Bersenang-senang didalam taman pemandian.

*****

Arya Pengalas sedang duduk dibawah gapura, sementara Gajah Mada dan beberapa prajurit lainnya sigap didepan pintu gerbang. Dari arah barat petirtaan sayup-sayup terdengar suara berderap. Langkah sepasukan tentara, batin sang bekel.

“Siapa mereka?” Tanya Arya Pengalas. Ia segera berdiri dan memerintahkan para penjaga untuk siaga. Suara derap langkah bala pasukan semakin mendekat. Alangkah terkejutnya mereka, ketika mengetahui yang datang adalah Arya Semi. Seorang Dharmaputra di kedaton.

“Kakang Arya Semi?” Sambut Arya Pengalas.

“Ada apa gerangan sepagi ini kakang datang kemari? Membawa bala tentara pula?” Lanjut sang bekel.

“Sahabatku Arya Pengalas, biarkan kami masuk!” Jawab Arya Semi.

“Maaf, untuk apa kakang?” Tanya Arya Pengalas lagi.

“Didalam sedang ada gusti Prabu Jayanegara. Siapapun tak boleh memasuki taman petirtaan ini.” Ia mulai curiga dengan gerak-gerik Arya Semi. Apalagi ratusan pasukan dibelakangnya membawa persenjataan lengkap seperti hendak berperang.

“Jangan banyak tanya! ” Bentak Dharmaputra yang tampak tersinggung dengan teguran sahabatnya. Ia langsung menerobos masuk. Arya Pengalas menghadangnya, tetapi tubuh kekar Arya Semi tak bergeming. Mendorong dan menabrak hingga sang bekel terhuyung-huyung mundur beberapa langkah.

“Pasukan, ayo kita masuk. Habisi raja yang tak bermoral itu!” Perintah Arya Semi. Belum sempat pasukannya menerobos gerbang, berdirilab sesosok prajurit muda bertubuh tegap dan tinggi besar dihadapan mereka.

“Berhenti kalian!” Bentak sang prajurit.

“Siapa kamu? Berani sekali menghadangku!” Tantang Arya Semi.

“Aku Gajah Mada, penjaga taman ini. Membuat keonaran disini, sama halnya dengan mengusikku!” Jawab si prajurit.

“Mau mencari mati kamu anak muda!” Arya Semi langsung menghunus sebuah keris dan menghunjamkan kearah Gajah Mada. Dengan satu gerakan kecil, momongan Ki Gede Sidowayah berhasil berkelit. Serangan itu mengenai udara kosong.

“Tutup pintu gerbang! Jangan biarkan pasukan penyerang masuk!” Perintah Arya Pengalas. Para prajurit penjaga taman petirtaan segera menutup rapat gerbang petirtaan. Bentrokan antara pengikut Arya Semi dan pasukan Arya Pengalas pun akhirnya terjadi di luar taman.

Arya Semi terpancing amarahnya. Ia menyerang lagi Gajah Mada dengan membabi buta. Tetapi pemuda yang menjadi lawannya ternyata bukan prajurit biasa. Dengan lincah dan tangguh, prajurit itu berhasil membawanya bergeser menjauhi taman.

Disebuah tanah terbuka tak jauh dari komplek petirtaan, Gajah Mada melayangkan sebuah tendangan kearah dada Arya Semi. Dharmaputra pemberontak itu terjerembab. Belum sempat ia bangun, sebuah injakan kembali mendarat di wajahnya.

Gajah Mada tersenyum. Ia hendak berbalik arah kembali ke taman. Tak menyadari bahwa Arya Semi masih hidup meski sudah tersungkur. Perlahan-lahan pemberontak itu menghunus sebuah keris cadangan.

Arya Semi berdiri, lalu menerjang Gajah Mada dan menusukkan kerisnya ke punggung sang prajurit muda.

“Pergilah kau ke alam Sunyaruri!” Teriak Gajah Mada yang ternyata sudah mengetahui gerakan Arya Semi sejak tersungkur tadi. Ia berkelit sesaat sebelum musuhnya itu menyentuhnya.

Tangan momongan Ki Gede Sidowayah itu bersimbah darah. Sebuah pedang kecil yang secara tersembunyi digenggamnya telah menancap di ulu hati Arya Semi. Gajah Mada menghabisi Arya Semi dengan sebuah gerakan membelakangi sang pemberontak. Hanya satu gerakan!

Berita keberhasilan pasukan Arya Pengalas menghabisi pemberontakan Arya Semi terdengar ke dalam petirtaan. Prabu Jayanegara yang sedang bersenang-senang didalam petirtaan melangkah keluar diiringi wanita-wanita penghiburnya.

“Terima kasih paman Arya Pengalas. Karena jasamu dan pasukanmu aku selamat. Pemberontakan Arya Semi juga berhasil kau tumpas!” Puji Prabu Jayanegara.

“Sudah menjadi tugas hamba untuk melindungi dan menyelamatkan gusti prabu Jayanegara!” Jawab Arya Pengalas.

Prabu Jayanegara menepuk-nepuk pundak Arya Pengalas. “Kamu aku tarik ke istana untuk menjadi Dharmaputra kedaton! Segera siapkan pula seorang penggantimu, bekel di taman petirtaan ini”

“Sendiko dawuh Gusti Prabu!” Arya Pengalas menyembah, lalu menundukkan badan di depan sang raja.

Sejak hari itu pula, Gajah Mada diangkat menggantikan kedudukan Arya Pengalas sebagai bekel prajurit di petirtaan kedaton Majapahit.

*****

BERSAMBUNG

Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Dharmaputra = Pejabat kedaton.
Bekel = Kepala prajurit.

Dalam sejarah Majapahit, seorang prajurit selalu menggunakan gelar kesatria yang diambil dari nama-nama hewan. Gelar yang lazim dipakai diantaranya Lembu, Kebo dan Gajah.

Candi Tikus di Trowulan Mojokerto, Jatim kini masih berdiri megah. Candi ini adalah salah satu bekas petirtaan kedaton Majapahit yang masih utuh hingga sekarang.

Petirtaan Candi Tikus - image google

10 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *