Selasa, 17 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 12



Gajah Mada - image google


NARARYA SANGGRAMAWIJAYA

“Panggil dan kumpulkan semua anak-anakku adinda!” Ucap Prabu Brawijaya. Raja Majapahit itu kembali terbaring sakit. Kondisinya tak kunjung membaik.

“Baik kakang Wijaya.” Jawab Ratu Tribhuwaneswari. Sang Permaisuri keluar dari bilik kedaton. Dengan diiringi beberapa emban, ia menuju serambi kedaton. Menemui beberapa prajurit dan abdi dalem yang berjaga di gerbang.

“Prajurit, temuilah Ratu Gayatri di kedatonnya. Sampaikan bahwa gusti Prabu Brawijaya memanggil kedua putrinya, Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat!” Perintah sang ratu kepada seorang prajurit.

“Sedangkan kamu, pergilah ke kedaton Ratu Dara Petak. Sampaikan pula bahwa Pangeran Jayanegara juga dipanggil romonya!” Ucapnya memerintah kepada prajurit lainnya.

“Sendiko dawuh gusti ratu!” Dua prajurit yang diperintah itu menjawab dengan serempak, lalu menyembah. Mereka bergegas berjalan kearah istana selir. Satu prajurit menuju kedaton Ratu Gayatri. Prajurit lainnya menemui Ratu Dara Petak.

Dari pernikahan dengan kelima istrinya. Prabu Brawijaya hanya memiliki anak dari Ratu Dara Petak dan Ratu Gayatri. Sementara permaisuri Ratu Tribhuwaneswari tidak memberinya keturunan. Sama halnya dengan Ratu Narendraduhita dan Ratu Jayendradewi.

*****

Ratu Dara Petak sedang bercengkerama dengan anak lelakinya, Pangeran Jayanegara ketika datang seorang emban menghadapnya. Dayang-dayang itu melaporkan bahwa sang ratu bersama putra mahkota dipanggil Prabu Brawijaya.

“Putraku Jayanegara, ayo kita menghadap romomu. Mungkin ada masalah penting yang ingin beliau sampaikan!” Ajak selir raja Majapahit yang bisa memberikan satu-satunya keturunan lelaki bagi Nararya Sanggramajiya itu.

“Baiklah ibunda, aku juga khawatir dengan kondisi romo prabu. Kesehatannya semakin menurun belakangan ini.” Jawab sang putra mahkota, Pangeran Jayanegara.

Sampai di halaman kedaton keprabon, mereka berpapasan dengan selir lainnya. Ratu Gayatri beserta dua putrinya Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat yang juga bergegas akan menemui Prabu Brawijaya.

“Adikku Dyah Gitarja, Dyah Wiyat, kalian dipanggil romo juga?” Sapa Pangeran Jayanegara kepada dua adik perempuannya.

“Iya kakang Jayanegara.” Jawab Dyah Gitarja, putri sulung Ratu Gayatri. Sementara adiknya yang lebih kecil, Dyah Wiyat hanya asyik bergelayut di lengannnya.

“Ada apa gerangan kakang? Tidak biasanya romo memanggil kita bertiga bersamaan seperti ini?” Dyah Wiyat balik bertanya kepada Pangeran Jayanegara.

“Entahlah adikku, mungkin romo prabu ingin anak-anaknya berkumpul dengan beliau. Kesehatannya semakin buruk beberapa hari ini.” Jelas sang putra mahkota.

Ketiga anak Prabu Brawijaya itu tampak rukun meski mereka berbeda ibu. Sebelum memasuki ruang bilik kedaton, mereka sempat bercengkerama dan bergurau di pendopo sesaat. Hingga seorang emban memanggil bahwa sang prabu sudah menunggu mereka.

Di dalam bilik kedaton, kelima istri Kertarajasa Jayawardhana tampak sembab matanya. Kondisi sang prabu makin mengkhawatirkan. Tabib istana juga hadir disana. Permaisuri dan para selir itu menangis setelah sang tabib membisikkan bahwa usahanya untuk mengobati Prabu Brawijaya sudah maksimal.

“Anak-anakku, mendekatlah kemari!” Dengan suara lemah sang prabu memanggil ketiga anaknya.

“Injih romo!” Jawab ketiga anaknya serempak. Lalu mendekat dan duduk di dekat pembaringan Prabu Brawijaya.

“Jika nanti aku sudah tiada, maka putra mahkotalah yang akan mewarisi tahta Majaphit!” Prabu Brawijaya menggapai lalu menggenggam tangan Pangeran Jayanegara.

“Kamulah penerusku nantinya, Jayanegara!” Lanjutnya

“Sendiko dawuh romo!” Jawab sang putra.

“Sedangkan Dyah Gitarja, kamu aku warisi kerajaan vassal, Daha dan Kanjuruhan!” Kali ini giliran putrinya yang diusap-usap rambutnya.

“Injih romo, sendiko dawuh!” Jawab adik perempuan Jayanegara.

“Dyah Wiyat, putriku yang terkecil. Romo sangat menyayangimu, belajarlah menjadi pemimpin dari kakak-kakakmu. Kahuripan aku wariskan kepadamu!” Jelasnya sambil menciumi pipi putri bungsunya.

Sambil terbatuk-batuk, Kertarajasa Jayawardhana lalu memeluk ketiga anaknya. Diusap-usap rambut mereka dan diciuminya secara bergantian. Sang Prabu merasa tak lama lagi ia akan meninggalkan putra-putrinya.

*****

Siang itu bumi Majapahit gempar. Sejak pagi hari, mendung bergelayut dilangit Trowulan. Nararya Sanggramawijaya, menantu Kertanegara, raja Singosari, yang berhasil membuka hutan Tarik dan mendirikan negeri baru disana akhirnya benar-benar mangkat. Ia wafat setelah memimpin Majapahit selama enam belas tahun.

Berita kepulangan Prabu Brawijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana ini membuat seluruh rakyat Majapahit berduka. Para Brahmana serempak memanjatkan do’a pralaya. Mulai punggawa kedaton, para abdi dalem hingga rakyat jelatah ikut bertangisan.

Upacara kremasi dilakukan di pinggiran kotaraja. Kepergian sang prabu diantar seluruh permaisuri, selir dan anak-anaknya. Disaksikan para brahmana, punggawa kedaton, abdi dalem hingga rakyat yang menjejali area kremasi. Abu jenasah Kertarajasa Jayawardhana diabadikan di sebuah tempat di sebelah utara tanah Trowulan.

*****

Majapahit, 1309 Masehi.
Sesuai wasiat dari ayahandanya, keesokan harinya Pangeran Jayanegara yang terlahir dari seorang selir Nararya Sanggramawijaya, Ratu Dara Petak diangkat sebagai raja Majapahit menggantikan Prabu Brawijaya. Kalagemet (nama kecil Jayanegara) menobatkan diri dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.

Ketika itu usianya baru empat belas tahun. Jayanegara memulai babak baru sebagai raja yang belum matang, baik secara umur maupun kepribadian. Raja muda yang kelak akan menorehkan sejarah sebagai pemimpin pemerintahan Majapahit di era yang penuh konflik.

*****

BERSAMBUNG

Baca juga kisah selengkapnya “PRALAYA DI LANGIT BUBAT” :

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Romo = Ayahanda.
Kedaton Keprabon = Istana raja. 
Abdi dalem = Orang yang bekerja di lingkungan istana.
Emban = Abdi dalem wanita.
--------------------------------------------------------------------
Tempat penyimpanan abu jenasah Nararya Sanggramawijaya (Prabu Kertarajasa Jayawardhana) yang lebih dikenal sebagai Prabu Brawijaya kini masih berdiri megah. Bangunan itu dikenal sebagai Candi Brahu di Trowulan, Mojokerto, Jatim.

Candi Brahu tampak dari sudut samping
 


11 komentar:

  1. Jayanegara...raja yang menuai.konflik

    BalasHapus
  2. Waaah saya buta banget sejarah jadi belajar tentang sejarah

    BalasHapus
  3. Seru banget
    Btw fotonya jadi gagal fokus kang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ...
      Saya gk pernah bosen mendatangi situs itu mbkyu

      Hapus
  4. Lebih paham sejarah setelah baca tulisannya Mas Heru, ketimbang penjelasan guruku dahulu.
    Makasih Mas. (^=^)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbk Na berlebihan dech.
      Saya masih pemula ini.

      Hapus
  5. Ratu Tribhuwaneswari namanya keren.

    Ratu gayatri, jadi ingat brama kumbara. Eh, benar tak, ya...

    Keren, bang. Lanjutkan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan Brama Kumbara mbk Ainayya ..
      Siap! Insya Allah sampai 20 part

      Hapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *