Gajah Mada - image google |
NARARYA SANGGRAMAWIJAYA
“Panggil dan
kumpulkan semua anak-anakku adinda!” Ucap Prabu Brawijaya. Raja Majapahit itu
kembali terbaring sakit. Kondisinya tak kunjung membaik.
“Baik kakang
Wijaya.” Jawab Ratu Tribhuwaneswari. Sang Permaisuri keluar dari bilik kedaton.
Dengan diiringi beberapa emban, ia
menuju serambi kedaton. Menemui beberapa prajurit dan abdi dalem yang berjaga di gerbang.
“Prajurit,
temuilah Ratu Gayatri di kedatonnya. Sampaikan bahwa gusti Prabu Brawijaya
memanggil kedua putrinya, Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat!” Perintah sang ratu
kepada seorang prajurit.
“Sedangkan kamu,
pergilah ke kedaton Ratu Dara Petak. Sampaikan pula bahwa Pangeran Jayanegara
juga dipanggil romonya!” Ucapnya memerintah
kepada prajurit lainnya.
“Sendiko dawuh
gusti ratu!” Dua prajurit yang diperintah itu menjawab dengan serempak, lalu menyembah.
Mereka bergegas berjalan kearah istana selir. Satu prajurit menuju kedaton Ratu
Gayatri. Prajurit lainnya menemui Ratu Dara Petak.
Dari pernikahan
dengan kelima istrinya. Prabu Brawijaya hanya memiliki anak dari Ratu Dara
Petak dan Ratu Gayatri. Sementara permaisuri Ratu Tribhuwaneswari tidak memberinya
keturunan. Sama halnya dengan Ratu Narendraduhita dan Ratu Jayendradewi.
*****
Ratu Dara Petak sedang
bercengkerama dengan anak lelakinya, Pangeran Jayanegara ketika datang seorang emban menghadapnya. Dayang-dayang itu melaporkan
bahwa sang ratu bersama putra mahkota dipanggil Prabu Brawijaya.
“Putraku
Jayanegara, ayo kita menghadap romomu.
Mungkin ada masalah penting yang ingin beliau sampaikan!” Ajak selir raja
Majapahit yang bisa memberikan satu-satunya keturunan lelaki bagi Nararya
Sanggramajiya itu.
“Baiklah ibunda,
aku juga khawatir dengan kondisi romo
prabu. Kesehatannya semakin menurun belakangan ini.” Jawab sang putra mahkota,
Pangeran Jayanegara.
Sampai di halaman kedaton keprabon, mereka berpapasan
dengan selir lainnya. Ratu Gayatri beserta dua putrinya Dyah Gitarja dan Dyah
Wiyat yang juga bergegas akan menemui Prabu Brawijaya.
“Adikku Dyah
Gitarja, Dyah Wiyat, kalian dipanggil romo
juga?” Sapa Pangeran Jayanegara kepada dua adik perempuannya.
“Iya kakang
Jayanegara.” Jawab Dyah Gitarja, putri sulung Ratu Gayatri. Sementara adiknya yang
lebih kecil, Dyah Wiyat hanya asyik bergelayut di lengannnya.
“Ada apa gerangan
kakang? Tidak biasanya romo memanggil
kita bertiga bersamaan seperti ini?” Dyah Wiyat balik bertanya kepada Pangeran
Jayanegara.
“Entahlah adikku,
mungkin romo prabu ingin anak-anaknya
berkumpul dengan beliau. Kesehatannya semakin buruk beberapa hari ini.” Jelas
sang putra mahkota.
Ketiga anak Prabu
Brawijaya itu tampak rukun meski mereka berbeda ibu. Sebelum memasuki ruang
bilik kedaton, mereka sempat bercengkerama dan bergurau di pendopo sesaat.
Hingga seorang emban memanggil bahwa
sang prabu sudah menunggu mereka.
Di dalam bilik
kedaton, kelima istri Kertarajasa Jayawardhana tampak sembab matanya. Kondisi
sang prabu makin mengkhawatirkan. Tabib istana juga hadir disana. Permaisuri
dan para selir itu menangis setelah sang tabib membisikkan bahwa usahanya untuk
mengobati Prabu Brawijaya sudah maksimal.
“Anak-anakku,
mendekatlah kemari!” Dengan suara lemah sang prabu memanggil ketiga anaknya.
“Injih romo!” Jawab ketiga anaknya serempak.
Lalu mendekat dan duduk di dekat pembaringan Prabu Brawijaya.
“Jika nanti aku
sudah tiada, maka putra mahkotalah yang akan mewarisi tahta Majaphit!” Prabu
Brawijaya menggapai lalu menggenggam tangan Pangeran Jayanegara.
“Kamulah penerusku
nantinya, Jayanegara!” Lanjutnya
“Sendiko dawuh romo!” Jawab sang putra.
“Sedangkan Dyah
Gitarja, kamu aku warisi kerajaan vassal, Daha dan Kanjuruhan!” Kali ini
giliran putrinya yang diusap-usap rambutnya.
“Injih romo, sendiko dawuh!” Jawab adik
perempuan Jayanegara.
“Dyah Wiyat,
putriku yang terkecil. Romo sangat
menyayangimu, belajarlah menjadi pemimpin dari kakak-kakakmu. Kahuripan aku
wariskan kepadamu!” Jelasnya sambil menciumi pipi putri bungsunya.
Sambil terbatuk-batuk,
Kertarajasa Jayawardhana lalu memeluk ketiga anaknya. Diusap-usap rambut mereka
dan diciuminya secara bergantian. Sang Prabu merasa tak lama lagi ia akan
meninggalkan putra-putrinya.
*****
Siang itu bumi
Majapahit gempar. Sejak pagi hari, mendung bergelayut dilangit Trowulan. Nararya
Sanggramawijaya, menantu Kertanegara, raja Singosari, yang berhasil membuka
hutan Tarik dan mendirikan negeri baru disana akhirnya benar-benar mangkat. Ia
wafat setelah memimpin Majapahit selama enam belas tahun.
Berita kepulangan Prabu
Brawijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana ini membuat seluruh rakyat Majapahit
berduka. Para Brahmana serempak memanjatkan do’a pralaya. Mulai punggawa
kedaton, para abdi dalem hingga rakyat jelatah ikut bertangisan.
Upacara kremasi
dilakukan di pinggiran kotaraja. Kepergian sang prabu diantar seluruh permaisuri,
selir dan anak-anaknya. Disaksikan para brahmana, punggawa kedaton, abdi dalem
hingga rakyat yang menjejali area kremasi. Abu jenasah Kertarajasa Jayawardhana
diabadikan di sebuah tempat di sebelah utara tanah Trowulan.
*****
Majapahit, 1309 Masehi.
Sesuai wasiat dari
ayahandanya, keesokan harinya Pangeran Jayanegara yang terlahir dari seorang
selir Nararya Sanggramawijaya, Ratu Dara Petak diangkat sebagai raja Majapahit
menggantikan Prabu Brawijaya. Kalagemet (nama
kecil Jayanegara) menobatkan diri dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa
Adhiswara.
Ketika itu usianya baru empat
belas tahun. Jayanegara memulai babak baru sebagai raja yang belum matang, baik
secara umur maupun kepribadian. Raja muda yang kelak akan menorehkan sejarah
sebagai pemimpin pemerintahan Majapahit di era yang penuh konflik.
*****
BERSAMBUNG
Baca juga kisah selengkapnya “PRALAYA
DI LANGIT BUBAT” :
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan
:
Romo = Ayahanda.
Kedaton Keprabon = Istana raja.
Abdi dalem = Orang yang bekerja di lingkungan istana.
Emban = Abdi dalem wanita.
--------------------------------------------------------------------
Tempat penyimpanan abu jenasah Nararya
Sanggramawijaya (Prabu Kertarajasa Jayawardhana) yang lebih dikenal sebagai
Prabu Brawijaya kini masih berdiri megah. Bangunan itu dikenal sebagai Candi
Brahu di Trowulan, Mojokerto, Jatim.Candi Brahu tampak dari sudut samping |
Jayanegara...raja yang menuai.konflik
BalasHapusIyo Lis
HapusWaaah saya buta banget sejarah jadi belajar tentang sejarah
BalasHapusAku jg sedang belajar aa
HapusAku jg sedang belajar aa
HapusSeru banget
BalasHapusBtw fotonya jadi gagal fokus kang
Hahaha ...
HapusSaya gk pernah bosen mendatangi situs itu mbkyu
Lebih paham sejarah setelah baca tulisannya Mas Heru, ketimbang penjelasan guruku dahulu.
BalasHapusMakasih Mas. (^=^)
Mbk Na berlebihan dech.
HapusSaya masih pemula ini.
Ratu Tribhuwaneswari namanya keren.
BalasHapusRatu gayatri, jadi ingat brama kumbara. Eh, benar tak, ya...
Keren, bang. Lanjutkan...
Bukan Brama Kumbara mbk Ainayya ..
HapusSiap! Insya Allah sampai 20 part