Gajah Mada - image google |
GAJAH MADA
“Nyai, mungkin
sudah tiba saatnya kita menceritakan semuanya kepada Jaka Mada.” Ucap Ki Gede
Sidowayah kepada saudara perempuannya, Nyai Wora Wari.
Pagi itu Jaka Mada
telah berangkat menggembalakan kerbau. Dua kakak beradik yang menjadi pengasuh bayi
Nyai Andongsari sejak lahir melanjutkan pembicaraan semalam. Tentang niat dan
tekad momongannya yang ingin mengadu nasib ke kotaraja Majapahit.
Ada satu hal yang
mengganjal pikiran Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari. Peristiwa enam belas
tahun silam yang mereka simpan rapat-rapat dari Jaka Mada. Tentang asal-usul bocah
malang itu.
Kini jabang bayi
yang dulu mereka selamatkan telah tumbuh dewasa. Ki Gede Sidowayah merasa sudah
tiba waktunya ia memberitahukan tabir yang tersimpan selama ini.
“Aku tidak tega
Ki.” Jawab Nyai Wora Wari.
“Bagiku, Jaka Mada
sudah seperti anak kandung sendiri. Aku tidak sampai hati kalau dia tahu cerita
sebenarnya.” Lanjutnya.
“Tetapi saat ini
ia sudah dewasa Nyai, cepat atau lambat akhirnya dia juga akan mengetahuinya.”
Jelas Ki Gede Sidowayah.
“Ki Gede sajalah
yang ngomong kepada momongan kita. Aku justru takut si thole akan meninggalkan kita setelah tahu bahwa Wora Wari ini bukan
biyungnya!.” Suara Nyai Wora Wari
terdengar serak dan melirih. Bulir-bulir bening mulai mengumpul di sudut
pelupuknya.
“Baiklah, nanti
setelah Jaka Mada pulang, aku akan berbicara kepadanya.” Tutup Empu pembuat pusaka dari desa Modo itu.
*****
Sore harinya, baik
Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari sudah menunggu kepulangan Jaka Mada di
serambi rumah. Begitu momongan mereka datang menuntun kerbau, buru-buru lelaki
yang mulai uzur usianya itu menghampiri.
“Thole, sini biar bopo yang memasukkan hewan-hewan ini!” Sambut Ki Gede Sidowayah sambil
meraih dadung kerbau dan gudel piaraan Jaka Mada.
“Ada apa bopo?” Tanya Jaka Mada keheranan. Sudah
menjadi kebiasaan sepulang menggembala, ia sendiri yang memasukkan hewan
piaraannya ke kandang dan memberinya rumput. Tetapi sore itu ia merasakan ada
yang janggal dari tabiat pengasuhnya.
“Tidak ada apa-apa
thole, sana cepat bersihkan badanmu
dan mandi. Biyungmu sudah menunggu di
serambi!” Perintah si bopo.
“Baiklah, aku
mandi dulu di sendang.” Jaka Mada
segera bergegas menuju Sendang Krapyak,
tempat ia biasa mandi. Letaknya tak jauh dari rumah mereka, di pinggiran desa
Modo.
Sepulang dari sendang, Jaka Mada melihat Ki Gede
Sidowayah dan Nyai Wora Wari sudah menunggunya di serambi rumah. Ia berfirasat
ada sesuatu yang disembunyikan bopo
biyungnya. Pandangan wanita tua yang sangat dipatuhinya itu juga tidak seperti
biasa. Matanya sembab. Biyungku
menangis? Pikirnya.
“Thole, duduklah kemari di samping biyung!” Ajak Nyai Wora Wari dengan
suara terbata-bata. Ia pun tak bisa membendung tangisnya.
“Kenapa biyung menangis?” Jaka Mada bertanya. Ia
tahu bahwa biyungnya sedang menangis
meski berusaha ditahan.
“Mada, bopo dan biyung ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Ki Gede Sidowayah
membuka pembicaraan. Sesaat lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam.
“Iya bopo, aku pasti akan mendengarkannya.
Ada apa gerangan? Sepertinya penting sekali.” Jawab Jaka Mada.
“Sebentar lagi
kamu akan pergi ke kotaraja Majapahit. Bopo
punya keyakinan kuat kalau thole akan
memenangkan palagan adu kebo itu.”
Lanjut Ki Gede Sidowayah.
“Pemenang
sayembara akan dijadikan abdi dalem di
kedaton Majapahit. Itu berarti kamu akan meninggalkan kita. Sebelum thole pergi, bopo ingin menyampaikan semua ini.” Kembali Ki Gede Sidowayah
menghela nafas panjang.
“Bopo dan biyung telah menyimpan rahasia ini selama enam belas tahun.
Ketahuilah bahwa sebenarnya kau bukan putra biyungmu.”
Penuh hati-hati lelaki tua itu memulai cerita.
“Apa? Pasti bopo sedang bercanda denganku. Bopo lagi mengajak Mada bermain-main
seperti saat aku masih kecil dulu kan?” Jaka Mada belum percaya mendengar
ucapan boponya.
“Tidak putraku!
Sejatinya dulu aku menemukanmu di puncak gunung Ratu bersama Nyai Wora Wari, biyungmu.” Lanjutnya.
“Tidak! Pasti bopo sedang berbohong kepada Mada!” Jaka
Mada masih tidak bisa menerima
penjelasan Ki Gede Sidowayah.
“Ketika itu ada seorang wanita yang berjuang
hidup mati seorang diri melahirkan jabang bayi. Tidak ada seorangpun yang
menolong persalinannya, sehingga Dewata Agung akhirnya merengkuh sukmanya.”
Suara Ki Gede Sidowayah mulai terdengar bergetar.
“Si jabang bayi
selamat. Ia menangis sekeras-kerasnya hingga seluruh isi hutang gunung Ratu
bergema. Jeritannya terdengar sampai ke desa Modo ini. Tangisan yang tidak
lazim. Hanya seorang calon kesatria besar yang memiliki jeritan seperti auman
gajah begitu!” Ki Gede Sidowayah membeberkan panjang lebar kejadian yang malam
itu ia alami.
“Aku bersama biyungmu segera berlari kearah puncak
gunung Ratu, mencari asal suara tangisan. Tapi kedatangan kami terlambat. Aku menguburkan
jasad wanita yang malang itu disana, sementara biyungmu sibuk menolong si jabang
bayi.” Suara si bopo semakin terbata-bata.
“Tidak bopo … “
Jaka Mada mulai bisa menebak arah pembicaraan Ki Gede Sidowayah.
“Jabang bayi itu
lalu kami bawa pulang ke rumah. Bopo
dan biyung merawatnya selama enam
belas tahun ini. Aku memberinya nama JAKA MADA! Kaulah jabang bayi itu thole!” Tutup Ki Gede Sidowayah.
Jaka Mada tak
kuasa menahan harunya. Ia segera bersimpuh dihadapan Nyai Wora Wari. Diciumnya
kedua kaki biyungnya itu. Kaki
seorang wanita renta yang sudah membesarkan dia. Menjadi malaikatnya, pengganti ibundanya yang telah damai di alam Sunyaruri.
*****
BERSAMBUNG
Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan
:
Sendang Krapyak sampai saat ini masih terawat
dengan baik di desa Modo, Lamongan Jatim. Sendang ini yang dipercaya masyarakat
setempat bahwa dulu sering digunakan Gajah Mada untuk beristirahat dan mandi.
Thole
= Nak (panggilan untuk anak lelaki).
Biyung
= Ibu.
Bopo
= Bapak.
Dadung
= Tali pengikat hewan piaraan.
Gudel
= Anak kerbau.
Palagan
adu kebo = Arena adu
kerbau.
Empu
= Pembuat senjata tradisional Jawa.
Sendang
= Telaga kecil, kolam di pegunungan
yang memiliki sumber mata air.
Abdi
dalem = Pekerja di keraton.
Sambil mbrebes bacanya...ikut larut dalam perasaan jaka mada
BalasHapusSambil mbrebes bacanya...ikut larut dalam perasaan jaka mada
BalasHapushehehe ... ojo Lebay tho Lis.
HapusAku melu2 mbrebes mili :p
Kok nangis mocone
BalasHapuskenapa mbakyu??
Hapushehe :(
Nangis bacanya ikut haru...
BalasHapusPenasaran ama sendangnya
ayukkk ke Lamongan :)
HapusBederai kopi gule (istilah org melayu). Nangis aku gara2 Mas Heru. 😭😭😭😭
BalasHapusAishhhh .... mbk Nie-Na ikut nglebay dch,
HapusJd ikut terharu aku 😂
Keren Mas heruu..beruntungnya jaka mada
BalasHapusHehee ,, mksh mbk Ciani
HapusMantaaap sekali. Nunggu mada adu kerbau lalu di angkat jadi abdi dalem.
BalasHapusluar biasa...
BalasHapus