Rabu, 11 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 8



Gajah Mada - image google

GAJAH MADA

“Nyai, mungkin sudah tiba saatnya kita menceritakan semuanya kepada Jaka Mada.” Ucap Ki Gede Sidowayah kepada saudara perempuannya, Nyai Wora Wari.

Pagi itu Jaka Mada telah berangkat menggembalakan kerbau. Dua kakak beradik yang menjadi pengasuh bayi Nyai Andongsari sejak lahir melanjutkan pembicaraan semalam. Tentang niat dan tekad momongannya yang ingin mengadu nasib ke kotaraja Majapahit.

Ada satu hal yang mengganjal pikiran Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari. Peristiwa enam belas tahun silam yang mereka simpan rapat-rapat dari Jaka Mada. Tentang asal-usul bocah malang itu.

Kini jabang bayi yang dulu mereka selamatkan telah tumbuh dewasa. Ki Gede Sidowayah merasa sudah tiba waktunya ia memberitahukan tabir yang tersimpan selama ini.

“Aku tidak tega Ki.” Jawab Nyai Wora Wari.

“Bagiku, Jaka Mada sudah seperti anak kandung sendiri. Aku tidak sampai hati kalau dia tahu cerita sebenarnya.” Lanjutnya.

“Tetapi saat ini ia sudah dewasa Nyai, cepat atau lambat akhirnya dia juga akan mengetahuinya.” Jelas Ki Gede Sidowayah.

“Ki Gede sajalah yang ngomong kepada momongan kita. Aku justru takut si thole akan meninggalkan kita setelah tahu bahwa Wora Wari ini bukan biyungnya!.” Suara Nyai Wora Wari terdengar serak dan melirih. Bulir-bulir bening mulai mengumpul di sudut pelupuknya.

“Baiklah, nanti setelah Jaka Mada pulang, aku akan berbicara kepadanya.” Tutup Empu pembuat pusaka dari desa Modo itu.

*****
Sore harinya, baik Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari sudah menunggu kepulangan Jaka Mada di serambi rumah. Begitu momongan mereka datang menuntun kerbau, buru-buru lelaki yang mulai uzur usianya itu menghampiri.

Thole, sini biar bopo yang memasukkan hewan-hewan ini!” Sambut Ki Gede Sidowayah sambil meraih dadung kerbau dan gudel piaraan Jaka Mada.

“Ada apa bopo?” Tanya Jaka Mada keheranan. Sudah menjadi kebiasaan sepulang menggembala, ia sendiri yang memasukkan hewan piaraannya ke kandang dan memberinya rumput. Tetapi sore itu ia merasakan ada yang janggal dari tabiat pengasuhnya.

“Tidak ada apa-apa thole, sana cepat bersihkan badanmu dan mandi. Biyungmu sudah menunggu di serambi!” Perintah si bopo.

“Baiklah, aku mandi dulu di sendang.” Jaka Mada segera bergegas menuju Sendang Krapyak, tempat ia biasa mandi. Letaknya tak jauh dari rumah mereka, di pinggiran desa Modo.

Sepulang dari sendang, Jaka Mada melihat Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari sudah menunggunya di serambi rumah. Ia berfirasat ada sesuatu yang disembunyikan bopo biyungnya. Pandangan wanita tua yang sangat dipatuhinya itu juga tidak seperti biasa. Matanya sembab. Biyungku menangis? Pikirnya.

Thole, duduklah kemari di samping biyung!” Ajak Nyai Wora Wari dengan suara terbata-bata. Ia pun tak bisa membendung tangisnya.

“Kenapa biyung menangis?” Jaka Mada bertanya. Ia tahu bahwa biyungnya sedang menangis meski berusaha ditahan.

“Mada, bopo dan biyung ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Ki Gede Sidowayah membuka pembicaraan. Sesaat lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam.

“Iya bopo, aku pasti akan mendengarkannya. Ada apa gerangan? Sepertinya penting sekali.” Jawab Jaka Mada.

“Sebentar lagi kamu akan pergi ke kotaraja Majapahit. Bopo punya keyakinan kuat kalau thole akan memenangkan palagan adu kebo itu.” Lanjut Ki Gede Sidowayah.

“Pemenang sayembara akan dijadikan abdi dalem di kedaton Majapahit. Itu berarti kamu akan meninggalkan kita. Sebelum thole pergi, bopo ingin menyampaikan semua ini.” Kembali Ki Gede Sidowayah menghela nafas panjang.

Bopo dan biyung telah menyimpan rahasia ini selama enam belas tahun. Ketahuilah bahwa sebenarnya kau bukan putra biyungmu.” Penuh hati-hati lelaki tua itu memulai cerita.

“Apa? Pasti bopo sedang bercanda denganku. Bopo lagi mengajak Mada bermain-main seperti saat aku masih kecil dulu kan?” Jaka Mada belum percaya mendengar ucapan boponya.

“Tidak putraku! Sejatinya dulu aku menemukanmu di puncak gunung Ratu bersama Nyai Wora Wari, biyungmu.” Lanjutnya.

“Tidak! Pasti bopo sedang berbohong kepada Mada!” Jaka Mada masih  tidak bisa menerima penjelasan Ki Gede Sidowayah.

 “Ketika itu ada seorang wanita yang berjuang hidup mati seorang diri melahirkan jabang bayi. Tidak ada seorangpun yang menolong persalinannya, sehingga Dewata Agung akhirnya merengkuh sukmanya.” Suara Ki Gede Sidowayah mulai terdengar bergetar.

“Si jabang bayi selamat. Ia menangis sekeras-kerasnya hingga seluruh isi hutang gunung Ratu bergema. Jeritannya terdengar sampai ke desa Modo ini. Tangisan yang tidak lazim. Hanya seorang calon kesatria besar yang memiliki jeritan seperti auman gajah begitu!” Ki Gede Sidowayah membeberkan panjang lebar kejadian yang malam itu ia alami.

“Aku bersama biyungmu segera berlari kearah puncak gunung Ratu, mencari asal suara tangisan. Tapi kedatangan kami terlambat. Aku menguburkan jasad wanita yang malang itu disana, sementara biyungmu sibuk menolong si jabang bayi.” Suara si bopo semakin terbata-bata.

“Tidak bopo … “ Jaka Mada mulai bisa menebak arah pembicaraan Ki Gede Sidowayah.

“Jabang bayi itu lalu kami bawa pulang ke rumah. Bopo dan biyung merawatnya selama enam belas tahun ini. Aku memberinya nama JAKA MADA! Kaulah jabang bayi itu thole!” Tutup Ki Gede Sidowayah.

Jaka Mada tak kuasa menahan harunya. Ia segera bersimpuh dihadapan Nyai Wora Wari. Diciumnya kedua kaki biyungnya itu. Kaki seorang wanita renta yang sudah membesarkan dia. Menjadi malaikatnya, pengganti ibundanya yang telah damai di alam Sunyaruri.

*****
 BERSAMBUNG

Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Sendang Krapyak sampai saat ini masih terawat dengan baik di desa Modo, Lamongan Jatim. Sendang ini yang dipercaya masyarakat setempat bahwa dulu sering digunakan Gajah Mada untuk beristirahat dan mandi.
 
Sendang Krapyak di desa Modo, Lamongan Jatim kini - image google
Thole = Nak (panggilan untuk anak lelaki).
Biyung = Ibu.
Bopo = Bapak.
Dadung = Tali pengikat hewan piaraan.
Gudel = Anak kerbau.
Palagan adu kebo = Arena adu kerbau.
Empu = Pembuat senjata tradisional Jawa.
Sendang = Telaga kecil, kolam di pegunungan yang memiliki sumber mata air.
Abdi dalem = Pekerja di keraton.

13 komentar:

  1. Sambil mbrebes bacanya...ikut larut dalam perasaan jaka mada

    BalasHapus
  2. Sambil mbrebes bacanya...ikut larut dalam perasaan jaka mada

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe ... ojo Lebay tho Lis.
      Aku melu2 mbrebes mili :p

      Hapus
  3. Nangis bacanya ikut haru...

    Penasaran ama sendangnya

    BalasHapus
  4. Bederai kopi gule (istilah org melayu). Nangis aku gara2 Mas Heru. 😭😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aishhhh .... mbk Nie-Na ikut nglebay dch,
      Jd ikut terharu aku 😂

      Hapus
  5. Keren Mas heruu..beruntungnya jaka mada

    BalasHapus
  6. Mantaaap sekali. Nunggu mada adu kerbau lalu di angkat jadi abdi dalem.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *