“Bopo biyung, aku tetaplah anak kalian!” Ucap Jaka Mada setelah beberapa saat tenggelam dalam keharuan.
“Sampai kapanpun Mada akan menganggap jenengan semua sebagai orangtuaku!” Tegasnya.
“Mada tak akan pernah melupakan jasa bopo dan biyung. Kalau tidak ada jenengan berdua, mungkin aku juga sudah mati di gunung Ratu!” Ucap Jaka Mada. Ia bangkit dari kaki biyungnya, lalu menghampiri dan mencium tangan Ki Gede Sidowayah.
“Sekarang aku ingin melihat makam ibundaku. Antar aku kesana ya bopo!” Pintanya kepada Ki Gede Sidowayah.
“Istrihatlah dulu thole, sudah larut malam. Besok pagi kita ke puncak gunung Ratu, aku antar kamu ke pusara ibumu!” Tutur Ki Gede Sidowayah sambil mengusap-usap kepala momongannya.
*****
Fajar belum berlalu, sisa-sisa kabut yang membalut seisi desa Modo semalam masih tebal. Membuat para penghuninya enggan beranjak dari peraduan. Tetapi tidak bagi Jaka Mada. Momongan Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari itu sudah sibuk dengan kerbau-kerbaunya. Memberinya makan lebih banyak dari rumput yang ia bawa dari hutan. Tak lupa membersihkan kandang.
Pagi ini Jaka Mada berniat tidak menggembalakan hewan piaraannya. Ia ingin melihat pusara ibundanya.
“Kamu sudah bangun, thole?” Tiba-tiba terdengar suara boponya menyapa.
“Iya bopo. Aku sengaja memberi makan dulu kerbau-kerbau ini lebih banyak.” Jawab Jaka Mada.
“Setelah ini kita akan pergi ke makam ibuku, jadi Mada tidak bisa menggembalakannya.” Jelasnya.
“Baiklah, ayo kita bersiap-siap. Kita berangkat pagi-pagi thole, biar nanti pulang tidak terlalu siang!” Ajak Ki Gede Sidowayah.
“Jangan lupa pamit ke biyungmu!” Tutupnya.
“Baik bopo!” Jawab Jaka Mada singkat. Ia segera membereskan rumput-rumput yang berserakan di kandang, lalu bergegas menemui biyungnya.
Tak lama kemudian, ia sudah kembali menemui Ki Gede Sidowayah. Diantar biyungnya, Nyai Wora Wari.
“Baiklah, ayo kita berangkat Mada!” Ajak Ki Gede Sidowayah.
“Kami berangkat biyung.” Jaka Mada berpamitan, lalu kembali mencium tangan Nyai Wora Wari.
“Iya, hati-hati thole, Ki Gede.” Jawab si biyung.
*****
Kabut semakin menipis, suara kokok ayam hutan mulai bersahut-sahutan. Jaka Mada dan Ki Gede Sidowayah terus menyusuri lebatnya belantara gunung Ratu.
“Berhenti thole, kita belok kearah bukit itu!” Ki Gede Sidowayah menunjuk ke arah sebuah bukit. Jaka Mada berjalan mengikuti petunjuk boponya.
Akhirnya mereka sampai di puncak. Ki Gede Sidowayah mengajak momongannya berjalan ke sebuah gundukan tanah. Pusara itu tampak terawat, meski semak-semak mulai tumbuh disana.
“Inilah makam ibundamu, thole.” Ki Gede Sidowayah duduk bersila di depan gundukan tanah. Jaka Mada mengikuti. Bersimpuh di sampingnya.
“Aneh, kenapa makam ibundaku tampak terawat bopo? Siapa yang pernah datang kesini?” Tanya Jaka Mada.
Meski tabir kelahiran Jaka Mada ia sembunyikan selama enam belas tahun, sebenarnya Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari selalu menyempatkan mengunjungi makam di puncak bukit itu. Tanpa sepengetahuan momongannya.
“Tidak penting itu thole. Sekarang berdo’alah kepada Dewata Agung. Semoga ibundamu tenang di alam Sunyaruri sana.” Tutur Ki Gede Sidowayah. Ia mengeluarkan seikat merang, membakarnya lalu ditaruh di atas pusara.
Beberapa saat suasana tampak hening. Baik Jaka Mada maupun boponya terlihat memejamkan mata, mulut mereka komat-kamit entah menyebut apa. Pastinya memohon sesuatu kepada Tuhannya.
“Baiklah, bopo kira sudah cukup. Ayo kita kembali pulang!” Ajak Ki Gede Sidowayah setelah sejenak mereka beristirahat di samping pusara Nyai Andongsari.
Mereka pun kembali menuruni bukit. Menyusuri lebatnya hutan gunung Ratu, menuju ke desa Modo lagi.
Perjalanan belum begitu jauh. Jaka Mada terkejut ketika sampai di kaki bukit, tiba-tiba Ki Gede Sidowayah berteriak, “Thole, menghindarlah!”
Ketika menoleh, Jaka Mada melihat boponya sudah mengangkat sebuah batu besar. Si Empu tua itu menghantamkan benda seukuran pintu rumah itu kearahnya. Secepat kilat si momongan meloncat menghindar.
“Bopo... !” Jaka Mada memperingatkan Ki Gede Sidowayah. Ia tidak mengerti kenapa boponya menyerangnya seperti itu. Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sebuah hantaman batu berikutnya melayang lagi.
“Bagus Mada! Sekali lagi… Awas thole!” Teriak Ki Gede Sidowayah. Kali ini boponya justru berlari menerjang. Jaka Mada menangkis tendangan pengasuhnya. Ia masih belum mengerti apa yang terjadi.
“Apa yang bopo lakukan?” Tanya Jaka Mada sambil melompat menghindari terjangan Ki Gede Sidowayah yang lagi-lagi melayangkan serangan.
“Lawan aku, thole!” Perintah si Empu. Beberapa saat terjadi pergulatan antara Ki Gede Sidowayah dan Jaka Mada.
Dua lelaki desa Modo beda generasi itu saling serang dan bertahan. Hingga akhirnya si bopo menghentikan gerakan agresifnya. Nafasnya terengah-engah.
“Kini aku semakin yakin, kamu akan menjadi kesatria besar thole!” Ucap Ki Gede Sidowayah. Disandarkannya tubuh rentanya ke sebatang pohon besar. Jaka Mada menghampiri, lalu duduk dihadapannya.
“Apa maksud bopo menyerang Mada?” Tanya Jaka mada.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan bahwa kamu memang pantas untuk berpetualang di kotaraja Majapahit.” Jelas Ki Gede Sidowayah, dengan suara masih tersengal-sengal.
“Ah, bopo selalu meragukan Mada. Aku sudah besar, bisa menjaga diri.” Jawab Jaka Mada. Ia memijit-mijit kaki boponya.
“Ternyata bopo hebat ya.” Ucap Jaka Mada.
“Bopo sudah tua Mada. Tenaga dan kekuatanku sudah hilang.” Sambil terbatuk-batuk Ki Gede Sidowayah merendah. Ia teguk air yang disodorkan momongannya. Menghela nafas panjang, berusaha memulihkan irama paru-parunya yang sejak tadi tidak beraturan.
“Tidak! Bopoku masih luar biasa. Mada saja sempat kewalahan. Pasti bopo dahulu seorang kesatria yang digdaya!” Sanggah Jaka mada.
“Sudahlah thole, ayo kita lanjutkan lagi perjalanan. Bopo sudah cukup beristirahat ini.” Ajak Ki Gede Sidowayah.
Matahari sudah meninggi. Hutan gunung Ratu mulai dihangati sinarnya yang menyeruak melalui sela-sela dedaunan. Ki Gede Sidowayah dan Jaka Mada pun melanjutkan perjalanan, kembali ke desa Modo.
Mereka harus cepat sampai di rumah. Hari ini adalah hari terakhir Jaka Mada bersiap diri. Besok, ia akan memulai petualangan besar di tanah Trowulan, kotaraja Majapahit.
BERSAMBUNG
Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Makam Nyai Andongsari kini dikenal dengan nama makam Ratu Dewi Andongsari di gunung Ratu, Lamongan Jatim.
Makam Nyai Andongsari kini dikenal dengan nama makam Ratu Dewi Andongsari di gunung Ratu, Lamongan Jatim.
Makam Nyai Andongsari, gunung Ratu Lamongan |
Thole = Nak (panggilan untuk anak lelaki).
Biyung = Ibu.
Bopo = Bapak.
Empu = Pembuat senjata tradisional Jawa.
Jenengan = Kamu, kalian (panggilan untuk seseorang yang dihormati).
Merang = Pucuk jeram, batang padi yang dikeringkan.
Semakin penasaran
BalasHapusSalut sama boponya..meyakinkan diri melepas Mada dgn bertarung.
BalasHapusTapi saya lebih salut lg sama yang nulis cerita ini. (^-^)
yuhuuu..Mas Heru..Good Job!
Bopo angkatnya juga luarbiasa mas
BalasHapusJaka Mada kereeeen
BalasHapuspenulis sejarah selalu keren dimataku. karena aku tak bisa bertutur sedetail itu tentang sejarah -_-
BalasHapus