Jumat, 20 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 15



Gajah Mada - image google

TRIBHUWANA TUNGGADEWI

Pemberontakan demi pemberontakan yang dilakukan oleh para Dharmuptra Majapahit telah berlalu. Tetapi kepribadian Prabu Jayanegara tetap tidak berubah juga. Kebiasaannya suka madat dan bermain wanita tetap saja ia lakukan.

Kelakuan raja muda yang amoral itu bahkan semakin menjadi-jadi. Bukan hanya gadis-gadis saja yang diambil ke istananya untuk dijadikan pelampiasan nafsu, namun para wanita bersuami pun sekarang mulai diliriknya.

Adalah Arya Tancha, seorang Dharmaputra ahli di bidang pengobatan dan strategi pemerintahan yang diam-diam juga menaruh dendam kepada Prabu Jayanegara. Penyebabnya adalah kematian dua saudara seperguruannya, Arya Semi dan Arya Kuti yang tewas saat gagal mengkudeta raja Majapahit itu.

Puncak amarah Arya Tancha adalah ketika suatu hari ia memergoki istrinya didatangi oleh beberapa abdi dalem kedaton utusan Prabu Jayanegara. Mereka menyampaikan undangan dari raja bahwa hari itu istri Arya Tancha tersebut diinginkan Prabu Jayanegara untuk menemani tidurnya.

“Kembalilah ke kedaton. Sampaikan kepada gusti prabu bahwa saat ini belum waktunya. Istriku sedang sakit!” Arya Tancha yang dikenal cerdik, mengusir para abdi dalem dengan halus. Dalam hati sebenarnya ia marah. Namun Dharmaputra itu punya sebuah rencana lain.

“Sampaikan pula salamku kepada gusti prabu Jayanegara, nanti jika istriku sudah sembuh dari sakitnya, aku sendiri yang akan mengantar ke kedaton!” Tutup Arya Tancha saat para prajurit utusan Jayanegara meninggalkan rumahnya.

*****

Daha Kediri, 1328 Masehi.
“Kakang Mada, siapkan beberapa prajuritmu. Kita berangkat ke kotaraja Majapahit menjenguk kakang Jayanegara!” Ucap Dyah Gitarja kepada patihnya di Daha, Gajah Mada.

Hari itu Dyah Gitarja menerima utusan dari kotaraja yang memberi kabar bahwa sudah berhari-hari Prabu Jayanegara terbaring sakit. Sebuah bisul besar tumbuh tepat di dadanya. Sang adik yang menjadi raja kecil di negeri vassal itu khawatir dengan kondisi kakak tirinya.

Dengan ditemani suaminya, Chakra Dara dan dikawal sang patih Gajah Mada, berangkatlah rombongan dari Daha itu menuju kotaraja di Trowulan, Majapahit. Selama dalam perjalanan, Dyah Gitarja tak henti-hentinya mendiskusikan kepemimpinan Prabu Jayanegara. Ia mengeluhkan kelakuan dan kebijakan sang kakak yang kerap kontroversi.

“Hamba mengerti itu, kanjeng putri. Tetapi kita semua punya tanggung jawab moral untuk berbhakti kepada raja dan negeri ini. Siapa dan bagaimanapun beliau!” Tegas Gajah Mada. Ia memang dikenal paling loyal kepada pemerintahan Majapahit, meski kepribadian sang raja buruk. Bhaktinya sudah tidak diragukan lagi oleh semua punggawa yang lain.

“Jiwa kesatriamu memang luar biasa kakang Mada. Meski raja kita berperilaku seperti sekarang, namun kau tetap memegang teguh dharma bhakti kepada negeri ini!” Jawab Chakra Dara.

“Tidak salah aku memintamu untuk membantuku memimpin Daha!” Timpal Dyah Gitarja.

*****

Prabu Jayanegara terus mengerang kesakitan. Bisul yang ada di dadanya kian membesar. Rasa sakitnya membuat raja Majapahit kedua itu tak bisa tidur berhari-hari.

“Tidak ada jalan lain, bisul ini harus diangkat. Gusti Prabu Jayanegara harus dioperasi, kanjeng putri.” Saran Dharmaputra yang tak lain juga tabib istana, Arya Tancha.

“Baiklah paman Arya Tancha, kalau memang itu jalan terbaik, lakukanlah!” Perintah Dyah Gitarja yang menunggui kakaknya, Prabu Jayanegara. Sementara sang raja hanya bisa merintih-rintih menahan rasa sakit. Atas bujukan semua saudara-saudaranya, akhirnya sang raja bersedia menjalani pembedahan.

“Permisi paduka semuanya, saya harap biarkan hamba hanya berdua dengan gusti Prabu Jayanegara.” Ucap Arya Tancha.

“Tak boleh ada orang di bilik ini, selain hamba dan gusti prabu. Biar pengangkatan bisul paduka raja bisa berjalan lancar.” Jelas sang tabib itu.

Dyah Gitarja, Chakra Dara dan Dyah Wiyat yang menyusul juga dari Kahuripan akhirnya berjalan keluar bilik. Gajah Mada yang sejak tadi hanya berjaga di pintu bilik belum mau beranjak. Firasatnya merasakan sesuatu yang janggal dari pengobatan Arya Tancha.

“Silahkan paduka semuanya berisitirahat, biarkan Mada tetap berjaga di kedaton keprabon ini, menunggui gusti Prabu Jayanegara.” Ucap Gajah Mada ketika para sesembahannya mengajaknya meninggalkan istana raja.

“Baiklah kakang Mada, kami beristirahat dulu.” Jawab Dyah Gitarja.

*****

Arya Tancha mengeluarkan beberapa jarum dan pisau dari sebuah kantong yang dibawanya dari rumah. Ia mendekat ke arah Prabu Jayanegara, lalu perlahan memeriksa luka bisul di dada raja.

“Apa yang kau lakukan?” Teriak Gajah Mada yang tiba-tiba menerobos masuk bilik. Saat itu ia melihat gelagat aneh dari Arya Tancha. Tangan sang tabib yang telah memegang pisau tajam menjadi penyebabnya.

“Lancang sekali kau masuk ke ruangan ini. Aku sudah katakan bahwa tak boleh ada orang selain aku dan gusti Prabu Jayanegara!” Arya Tancha marah dengan kedatangan Gajah Mada.

“Jangan pernah berniat menyakiti gusti prabu.” Jawab Gajah Mada.

“Aku justru akan menolongnya. Pisau ini untuk membedah dan mengangkat bisul yang ada di dada gusti prabu!” Ucap Arya Tancha. Tangannya gemetaran memegang benda tajam itu.

“Sekarang tinggalkan kami. Biarkan aku menyembuhkan gusti Prabu Jayanegara!” Lanjutnya.

“Baiklah, aku akan keluar.” Ucap Gajah Mada.

Tangan Arya Tancha semakin gemetaran. Raja durjana yang pernah menginjak-injak harga dirinya dengan menggoda dan berniat mengajak tidur istrinya itu kini terbaring tak berdaya di hadapannya. Dengan sekali tusukan pisau yang digenggamnya, tamatlah riwayatmu Jayanegara, pikirnya.

“Tahan sedikit gusti Prabu Jayanegara.” Ucap Arya Tancha.

“Gusti prabu akan merasakan sakit. Seperti sakitnya hati hamba ketika paduka mengajak tidur istri hamba!” Bisik Arya Tancha.

“Apa maksudmu Arya Tancha?” Prabu Jayanegara tersentak. Belum sempat ia berkelit, Arya Tancha sudah menusukkan pisau ke bisul di dadanya. Sangat dalam, hingga menembus jantung sang raja.

Prabu Jayanegara menjerit sekeras-kerasnya. Sontak Gajah Mada yang berada di depan bilik langsung menerobos masuk. Tangan Arya Tancha bersimbah darah. Ia mundur beberapa langkah ketika mengetahui Gajah Mada melihat kejadian itu.

Beberapa prajurit mengawal Dyah  Gitarja, Chakra Dara dan Dyah Wiyat yang berlari menuju kedaton Prabu Jayanegara ketika mendengar jeritan sang kakak. Mereka kaget, sang raja masih memegangi dadanya yang tertancap sebilah pisau.

Sementara Arya Tancha tersudut di pojok bilik. Tanpa berucap sepatah kata pun, Gajah Mada langsung menendang sang tabib istana hingga terjengkang di lantai. Belum sempat ia bangun, patih yang ditugaskan di Daha itu langsung menyambar sebuah tombak dari prajurit yang berdiri tak jauh darinya. Sekali tebas, tombak menghunjam di jantung Arya Tancha. Tewas!

Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat segera berlari memeluk tubuh kakak tirinya. Mereka menangisi Prabu Jayanegara yang tidak bergerak lagi diatas peraduannya. Dadanya bersimbah darah. Denyut nadinya sudah terhenti.

*****

Majapahit berkabung!
Raja kedua yang naik tahta saat masih anak-anak, Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara tewas secara tragis oleh seorang Dharmaputra. Seorang tabib istana yang menyimpan dendam karena sang raja menggoda dan menginginkan tidur dengan istrinya. Prabu Jayanegara yang bernama asli Kalagemet mangkat sebelum sempat menikah.

Dengan diantar para Brahmana, Ratu Sepuh Gayatri, adik-adiknya dan para punggawa kedaton, jenasah Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara diarak ke tempat upacara kremasi. Abu jenasah Prabu Jayanegara diabadikan di sebuah tempat di sebelah timur kotaraja Majapahit.

*****

Sepeninggal Prabu Jayanegara, secara hukum adat kedaton, maka Ratu Gayatri yang ketika itu sudah menjadi Ratu Sepuh berhak menduduki tahta Majapahit. Hal ini disebabkan Prabu Jayanegara belum sempat memiliki seorang putra mahkota.

Dari kelima istri Prabu Brawijaya, hanya tinggal Ratu Gayatri yang masih hidup. Maka satu-satunya istri yang tersisa dari Prabu Kertarajasa Jayawardhana itulah yang akan meneruskan tampuk kepemimpinan. Namun usia Ratu Sepuh ketika itu sudah mendekati uzur.

“Putriku Dyah Gitarja, usiaku sudah tua untuk memimpin negeri ini. Hak atas tahta negeri Majapahit ini aku wariskan kepadamu!” Ucap Ratu Gayatri ketika seluruh punggawa kedaton berkumpul di paseban agung Majapahit.

“Dengarlah semua yang hadir. Mulai hari ini putriku Dyah Gitarja yang akan menjadi sesembahan kalian. Dialah Ratu Majapahit sekarang!” Sabda sang Ratu Sepuh.

“Sendiko dawuh gusti ratu!” Jawab semua yang hadir di pendopo itu.

Dyah Gitarja pun dinobatkan sebagai Ratu Majapahit, meneruskan kakaknya Prabu Jayanegara. Saat upacara penobatan dirinya, ia menyabdakan diri dengan gelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Para Dharmaputra dan rakyatnya menyingkat gelar itu dengan sebutan Ratu Tribhuwana Tunggadewi.

Dyah Gitarja naik tahta Majapahit ketika ia sedang mengandung bayi pertamanya. Ketika itu usia kandungannya sedang besar-besarnya, tinggal menunggu kelahiran. Sehingga ia pun berpikir harus memiliki seseorang punggawa kepercayaan yang bisa membantu tugasnya memimpin negeri.

“Dengarkan wahai para Dharmaputra! Hari ini aku akan memilih seseorang sebagai punggawa kepercayaanku!” Ucap Ratu Trbhuwana Tunggadewi ketika memimpin pertemuan pertamanya di paseban agung.

“Karena kondisiku harus banyak beristirahat di kedaton, maka harus ada punggawa yang tangguh dan berbhakti tinggi. Ia yang akan membantuku memimpin negeri tercinta ini!” Lanjut Sang Ratu.

Suasana pendopo sesaat hening. Para Dharmaputra dan punggawa yang berkumpul tegang. Mereka menerka-nerka siapa gerangan diantara para petinggi yang berkumpul di paseban itu yang nantinya akan terpilih oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi.

“Aku sangat menaruh harapan kepada orang ini. Dia telah membuktikan kesetiaan dan bhaktinya kepada negeri Majapahit. Saat aku bawa ke Daha, keuletannya membuatku mampu memakmurkan rakyat!” Suara Ratu Tribhuwana Tunggadewi memecah keheningan pendopo.

“Hari ini aku menobatkan kakang Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit!” Sabda sang ratu.

“Sendiko dawuh gusti!” Gajah Mada menyembah. Disambut sembahan yang sama oleh semua yang hadir di paseban agung itu. Sesaat setelah dilantik, Gajah Mada berdiri lalu memohon ijin untuk keluar pendopo.

“Gusti ratu, ijinkan hamba mengikrarkan sumpah suci!” Ucap Gajah Mada, lalu berjalan ke belakang pendopo. Ia berdiri mengangkat kedua tangannya menengadah keatas langit Majapahit.

“Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa!”

“Jika telah mengalahkan Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa memakan buah palapa (kelapa). Jika telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah aku (baru akan) melepaskan puasa memakan buah palapa (kelapa)!”  Ikrar sang Mahapatih Amangkubumi.

Suara Gajah Mada terdengar menggelegar. Bumi Trowulan ikut bergetar, sesaat terjadi gempa bumi disana. Langit diatas Majapahit seketika dihiasi lukisan Guntur yang menyombongkan diri. Menjulur-julurkan lidah dengan cahanya.

Sejak hari itu pula, momongan Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari yang sejatinya adalah putra Dewi Andongsari mulai mewujudkan sumpahnya. Berpuasa hingga berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara dalam kekuasan satu raja. Satu negeri. Majapahit!

*****

BERSAMBUNG

Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Gurun = Pulau Gorom, Seram bagian timur.
Seram = Seram.
Tanjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat.
Haru = Kerajaan Aru Sumatera Utara (Karo).
Pahang = Pahang, Malaysia (ketika itu wilayahnya hingga negeri Thailand, Vietnam, dan Kamboja)
Dompo = Sebuah daerah di pulau Sumbawa.
Bali = Bali.
Sunda = Kerajaan Pajajaran, Sunda.
Palembang = Palembang atau Sriwijaya.
Tumasik = Singapura.

----------------------------

Candi Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto Jatim hingga kini masih berdiri megah. Di candi inilah abu jenasah Prabu Jayanegara diabadikan. Bajang Ratu berasal dari bahasa Jawa Bajang (bayi, anak-anak) dan Ratu (raja) yang berarti Raja yang masih kanak-kanak.

Panggung tempat Mahapatih Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Amukti Palala saat ini juga masih terawat dengan baik di belakang pendopo Majapahit, Trowulan Mojokerto Jatim.

Ratu Tribhuwana Tunggadewi yang diwujudkan dalam arca Dewi Parwati - image google


Candi Bajang Ratu - image google
Panggung tempat Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa - foto Heru Sang Mahadewa
 
Pendopo Agung Majapahit di Trowulan sekarang - image google

14 komentar:

  1. Awal kedigdayaan majapahit akan segera dimulai.

    BalasHapus
  2. Haru baca penobatan si Mada.
    Tunggu, sebetulnya si Andongsari itu ada hubungan darah ama orang kedaton engga, sih? Itu istri raja pertama? hehe lupa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai saat ini, belum ada prasasti ataupun bukti catatan sejarah yang menyebutkan istri Prabu Brawijaya (raja pertama Majapahit) selain kelima istri yang saya tulis di cerbung ini.

      Masyarakat desa Modo, Lamongan meyakini sebagai Dewi Andongsari sbg istri raja, tetapi tdk diperkuat bukti apapun.

      Makanya saya sengaja memFiksikan beliau sebagai sosok istri seorang kesatria di Majapahit.

      Hapus
  3. Luat biasa...
    Jadi bnyak tahu sejarah...
    Masih ada kelnjutannya nga Ya?
    Gelar tikar dulu..

    BalasHapus
  4. Kok bayanganku.. mas heru itu gajah mada ya?
    Hehehehe..😀😆😆

    BalasHapus
  5. Liar biasa Mas heru.. Blajar sejarah jadi ga ngantuk gini, hhee

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *