Gajah Mada - image google |
TRIBHUWANA TUNGGADEWI
Pemberontakan demi
pemberontakan yang dilakukan oleh para Dharmuptra Majapahit telah berlalu. Tetapi
kepribadian Prabu Jayanegara tetap tidak berubah juga. Kebiasaannya suka madat dan bermain
wanita tetap saja ia lakukan.
Kelakuan raja muda
yang amoral itu bahkan semakin
menjadi-jadi. Bukan hanya gadis-gadis saja yang diambil ke istananya untuk dijadikan pelampiasan nafsu, namun para wanita bersuami pun sekarang mulai diliriknya.
Adalah Arya
Tancha, seorang Dharmaputra ahli di bidang pengobatan dan strategi pemerintahan
yang diam-diam juga menaruh dendam kepada Prabu Jayanegara. Penyebabnya adalah
kematian dua saudara seperguruannya, Arya Semi dan Arya Kuti yang tewas saat
gagal mengkudeta raja Majapahit itu.
Puncak amarah Arya
Tancha adalah ketika suatu hari ia memergoki istrinya didatangi oleh beberapa abdi dalem kedaton utusan Prabu
Jayanegara. Mereka menyampaikan undangan dari raja bahwa hari itu istri Arya
Tancha tersebut diinginkan Prabu Jayanegara untuk menemani tidurnya.
“Kembalilah ke
kedaton. Sampaikan kepada gusti prabu bahwa saat ini belum waktunya. Istriku sedang
sakit!” Arya Tancha yang dikenal cerdik, mengusir para abdi dalem dengan halus. Dalam hati sebenarnya ia marah. Namun
Dharmaputra itu punya sebuah rencana lain.
“Sampaikan pula
salamku kepada gusti prabu Jayanegara, nanti jika istriku sudah sembuh dari
sakitnya, aku sendiri yang akan mengantar ke kedaton!” Tutup Arya Tancha saat
para prajurit utusan Jayanegara meninggalkan rumahnya.
*****
Daha Kediri, 1328 Masehi.
“Kakang Mada,
siapkan beberapa prajuritmu. Kita berangkat ke kotaraja Majapahit menjenguk
kakang Jayanegara!” Ucap Dyah Gitarja kepada patihnya di Daha, Gajah Mada.
Hari itu Dyah
Gitarja menerima utusan dari kotaraja yang memberi kabar bahwa sudah
berhari-hari Prabu Jayanegara terbaring sakit. Sebuah bisul besar tumbuh tepat
di dadanya. Sang adik yang menjadi raja kecil di negeri vassal itu khawatir
dengan kondisi kakak tirinya.
Dengan ditemani
suaminya, Chakra Dara dan dikawal sang patih Gajah Mada, berangkatlah rombongan
dari Daha itu menuju kotaraja di Trowulan, Majapahit. Selama dalam perjalanan, Dyah
Gitarja tak henti-hentinya mendiskusikan kepemimpinan Prabu Jayanegara. Ia mengeluhkan
kelakuan dan kebijakan sang kakak yang kerap kontroversi.
“Hamba mengerti
itu, kanjeng putri. Tetapi kita semua punya tanggung jawab moral untuk
berbhakti kepada raja dan negeri ini. Siapa dan bagaimanapun beliau!” Tegas Gajah Mada. Ia
memang dikenal paling loyal kepada pemerintahan Majapahit, meski kepribadian
sang raja buruk. Bhaktinya sudah tidak diragukan lagi oleh semua punggawa
yang lain.
“Jiwa kesatriamu
memang luar biasa kakang Mada. Meski raja kita berperilaku seperti sekarang,
namun kau tetap memegang teguh dharma bhakti kepada negeri ini!” Jawab Chakra
Dara.
“Tidak salah aku
memintamu untuk membantuku memimpin Daha!” Timpal Dyah Gitarja.
*****
Prabu Jayanegara
terus mengerang kesakitan. Bisul yang ada di dadanya kian membesar. Rasa
sakitnya membuat raja Majapahit kedua itu tak bisa tidur berhari-hari.
“Tidak ada jalan
lain, bisul ini harus diangkat. Gusti Prabu Jayanegara harus dioperasi, kanjeng
putri.” Saran Dharmaputra yang tak lain juga tabib istana, Arya Tancha.
“Baiklah paman Arya Tancha,
kalau memang itu jalan terbaik, lakukanlah!” Perintah Dyah Gitarja yang
menunggui kakaknya, Prabu Jayanegara. Sementara sang raja hanya bisa
merintih-rintih menahan rasa sakit. Atas bujukan semua saudara-saudaranya,
akhirnya sang raja bersedia menjalani pembedahan.
“Permisi paduka
semuanya, saya harap biarkan hamba hanya berdua dengan gusti Prabu Jayanegara.”
Ucap Arya Tancha.
“Tak boleh ada
orang di bilik ini, selain hamba dan gusti prabu. Biar pengangkatan bisul
paduka raja bisa berjalan lancar.” Jelas sang tabib itu.
Dyah Gitarja, Chakra
Dara dan Dyah Wiyat yang menyusul juga dari Kahuripan akhirnya berjalan keluar
bilik. Gajah Mada yang sejak tadi hanya berjaga di pintu bilik belum mau beranjak.
Firasatnya merasakan sesuatu yang janggal dari pengobatan Arya Tancha.
“Silahkan paduka
semuanya berisitirahat, biarkan Mada tetap berjaga di kedaton keprabon ini,
menunggui gusti Prabu Jayanegara.” Ucap Gajah Mada ketika para sesembahannya
mengajaknya meninggalkan istana raja.
“Baiklah kakang
Mada, kami beristirahat dulu.” Jawab Dyah Gitarja.
*****
Arya Tancha mengeluarkan
beberapa jarum dan pisau dari sebuah kantong yang dibawanya dari rumah. Ia mendekat
ke arah Prabu Jayanegara, lalu perlahan memeriksa luka bisul di dada raja.
“Apa yang kau
lakukan?” Teriak Gajah Mada yang tiba-tiba menerobos masuk bilik. Saat itu ia
melihat gelagat aneh dari Arya Tancha. Tangan sang tabib yang telah memegang
pisau tajam menjadi penyebabnya.
“Lancang sekali
kau masuk ke ruangan ini. Aku sudah katakan bahwa tak boleh ada orang selain
aku dan gusti Prabu Jayanegara!” Arya Tancha marah dengan kedatangan Gajah
Mada.
“Jangan pernah berniat
menyakiti gusti prabu.” Jawab Gajah Mada.
“Aku justru akan
menolongnya. Pisau ini untuk membedah dan mengangkat bisul yang ada di dada
gusti prabu!” Ucap Arya Tancha. Tangannya gemetaran memegang benda tajam itu.
“Sekarang
tinggalkan kami. Biarkan aku menyembuhkan gusti Prabu Jayanegara!” Lanjutnya.
“Baiklah, aku akan
keluar.” Ucap Gajah Mada.
Tangan Arya Tancha
semakin gemetaran. Raja durjana yang pernah menginjak-injak harga dirinya
dengan menggoda dan berniat mengajak tidur istrinya itu kini terbaring tak
berdaya di hadapannya. Dengan sekali tusukan pisau yang digenggamnya, tamatlah
riwayatmu Jayanegara, pikirnya.
“Tahan sedikit
gusti Prabu Jayanegara.” Ucap Arya Tancha.
“Gusti prabu akan
merasakan sakit. Seperti sakitnya hati hamba ketika paduka mengajak tidur istri
hamba!” Bisik Arya Tancha.
“Apa maksudmu Arya
Tancha?” Prabu Jayanegara tersentak. Belum sempat ia berkelit, Arya Tancha
sudah menusukkan pisau ke bisul di dadanya. Sangat dalam, hingga menembus
jantung sang raja.
Prabu Jayanegara
menjerit sekeras-kerasnya. Sontak Gajah Mada yang berada di depan bilik langsung menerobos
masuk. Tangan Arya Tancha bersimbah darah. Ia mundur beberapa langkah ketika
mengetahui Gajah Mada melihat kejadian itu.
Beberapa prajurit
mengawal Dyah Gitarja, Chakra Dara dan
Dyah Wiyat yang berlari menuju kedaton Prabu Jayanegara ketika mendengar
jeritan sang kakak. Mereka kaget, sang raja masih memegangi dadanya yang
tertancap sebilah pisau.
Sementara Arya
Tancha tersudut di pojok bilik. Tanpa berucap sepatah kata pun, Gajah Mada
langsung menendang sang tabib istana hingga terjengkang di lantai. Belum sempat
ia bangun, patih yang ditugaskan di Daha itu langsung menyambar sebuah tombak
dari prajurit yang berdiri tak jauh darinya. Sekali tebas, tombak menghunjam di
jantung Arya Tancha. Tewas!
Dyah Gitarja dan
Dyah Wiyat segera berlari memeluk tubuh kakak tirinya. Mereka menangisi Prabu Jayanegara yang tidak bergerak lagi diatas peraduannya. Dadanya bersimbah
darah. Denyut nadinya sudah terhenti.
*****
Majapahit
berkabung!
Raja kedua yang naik
tahta saat masih anak-anak, Sri Maharaja
Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara tewas secara tragis oleh
seorang Dharmaputra. Seorang tabib istana yang menyimpan dendam karena sang
raja menggoda dan menginginkan tidur dengan istrinya. Prabu Jayanegara yang
bernama asli Kalagemet mangkat sebelum sempat menikah.
Dengan diantar para Brahmana,
Ratu Sepuh Gayatri, adik-adiknya dan para punggawa kedaton, jenasah Sri
Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara diarak ke tempat upacara
kremasi. Abu jenasah Prabu Jayanegara diabadikan di sebuah tempat di sebelah
timur kotaraja Majapahit.
*****
Sepeninggal Prabu Jayanegara, secara
hukum adat kedaton, maka Ratu Gayatri yang ketika itu sudah menjadi Ratu Sepuh berhak menduduki tahta
Majapahit. Hal ini disebabkan Prabu Jayanegara belum sempat memiliki seorang
putra mahkota.
Dari kelima istri Prabu
Brawijaya, hanya tinggal Ratu Gayatri yang masih hidup. Maka satu-satunya istri
yang tersisa dari Prabu Kertarajasa Jayawardhana itulah yang akan meneruskan
tampuk kepemimpinan. Namun usia Ratu Sepuh ketika itu sudah mendekati uzur.
“Putriku Dyah Gitarja, usiaku
sudah tua untuk memimpin negeri ini. Hak atas tahta negeri Majapahit ini aku
wariskan kepadamu!” Ucap Ratu Gayatri ketika seluruh punggawa kedaton berkumpul
di paseban agung Majapahit.
“Dengarlah semua yang hadir.
Mulai hari ini putriku Dyah Gitarja yang akan menjadi sesembahan kalian. Dialah
Ratu Majapahit sekarang!” Sabda sang Ratu Sepuh.
“Sendiko dawuh gusti ratu!”
Jawab semua yang hadir di pendopo itu.
Dyah Gitarja pun dinobatkan
sebagai Ratu Majapahit, meneruskan kakaknya Prabu Jayanegara. Saat upacara
penobatan dirinya, ia menyabdakan diri dengan gelar Sri
Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Para
Dharmaputra dan rakyatnya menyingkat gelar itu dengan sebutan Ratu Tribhuwana
Tunggadewi.
Dyah Gitarja naik tahta Majapahit ketika ia sedang
mengandung bayi pertamanya. Ketika itu usia kandungannya sedang besar-besarnya,
tinggal menunggu kelahiran. Sehingga ia pun berpikir harus memiliki seseorang
punggawa kepercayaan yang bisa membantu tugasnya memimpin negeri.
“Dengarkan wahai para Dharmaputra! Hari ini aku akan
memilih seseorang sebagai punggawa kepercayaanku!” Ucap Ratu Trbhuwana
Tunggadewi ketika memimpin pertemuan pertamanya di paseban agung.
“Karena kondisiku harus banyak beristirahat di kedaton,
maka harus ada punggawa yang tangguh dan berbhakti tinggi. Ia yang akan
membantuku memimpin negeri tercinta ini!” Lanjut Sang Ratu.
Suasana pendopo sesaat hening. Para Dharmaputra dan
punggawa yang berkumpul tegang. Mereka menerka-nerka siapa gerangan diantara
para petinggi yang berkumpul di paseban itu yang nantinya akan terpilih oleh
Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
“Aku sangat menaruh harapan kepada orang ini. Dia telah
membuktikan kesetiaan dan bhaktinya kepada negeri Majapahit. Saat aku bawa ke
Daha, keuletannya membuatku mampu memakmurkan rakyat!” Suara Ratu Tribhuwana
Tunggadewi memecah keheningan pendopo.
“Hari ini aku menobatkan kakang Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit!” Sabda
sang ratu.
“Sendiko dawuh gusti!” Gajah Mada menyembah. Disambut
sembahan yang sama oleh semua yang hadir di paseban agung itu. Sesaat setelah
dilantik, Gajah Mada berdiri lalu memohon ijin untuk keluar pendopo.
“Gusti ratu, ijinkan hamba mengikrarkan sumpah suci!”
Ucap Gajah Mada, lalu berjalan ke belakang pendopo. Ia berdiri mengangkat kedua
tangannya menengadah keatas langit Majapahit.
“Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa!”
“Jika telah mengalahkan
Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa memakan buah palapa (kelapa). Jika telah mengalahkan Gurun,
Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah aku (baru akan) melepaskan puasa memakan buah palapa (kelapa)!” Ikrar sang Mahapatih Amangkubumi.
Suara Gajah Mada terdengar
menggelegar. Bumi Trowulan ikut bergetar, sesaat terjadi gempa bumi disana.
Langit diatas Majapahit seketika dihiasi lukisan Guntur yang menyombongkan diri.
Menjulur-julurkan lidah dengan cahanya.
Sejak hari itu pula, momongan
Ki Gede Sidowayah dan Nyai Wora Wari yang sejatinya adalah putra Dewi
Andongsari mulai mewujudkan sumpahnya. Berpuasa hingga berhasil menyatukan
seluruh wilayah Nusantara dalam kekuasan satu raja. Satu negeri. Majapahit!
*****
BERSAMBUNG
Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan
:
Gurun = Pulau Gorom, Seram bagian timur.
Seram = Seram.
Tanjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang,
Kalimantan Barat.
Haru = Kerajaan Aru Sumatera
Utara (Karo).
Pahang = Pahang,
Malaysia (ketika itu wilayahnya hingga negeri Thailand, Vietnam, dan Kamboja)
Dompo = Sebuah daerah di pulau Sumbawa.
Bali = Bali.
Sunda = Kerajaan Pajajaran, Sunda.
Palembang = Palembang
atau Sriwijaya.
Tumasik = Singapura.
----------------------------
Candi Bajang Ratu di
Trowulan, Mojokerto Jatim hingga kini masih berdiri megah. Di candi inilah abu
jenasah Prabu Jayanegara diabadikan. Bajang Ratu berasal dari bahasa Jawa Bajang (bayi, anak-anak) dan Ratu (raja) yang berarti Raja yang masih kanak-kanak.
Panggung
tempat Mahapatih Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Amukti Palala saat ini juga
masih terawat dengan baik di belakang pendopo Majapahit, Trowulan Mojokerto
Jatim.
Ratu Tribhuwana Tunggadewi yang diwujudkan dalam arca Dewi Parwati - image google |
Candi Bajang Ratu - image google |
Panggung tempat Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa - foto Heru Sang Mahadewa |
Pendopo Agung Majapahit di Trowulan sekarang - image google |
sampe merinding bacanya
BalasHapusHmmmm ... mosok to Lis?
HapusAwal kedigdayaan majapahit akan segera dimulai.
BalasHapusBetul Aa ..
HapusSatu aja. Keren.
BalasHapusMatur suwun mbkyu
HapusHaru baca penobatan si Mada.
BalasHapusTunggu, sebetulnya si Andongsari itu ada hubungan darah ama orang kedaton engga, sih? Itu istri raja pertama? hehe lupa
Sampai saat ini, belum ada prasasti ataupun bukti catatan sejarah yang menyebutkan istri Prabu Brawijaya (raja pertama Majapahit) selain kelima istri yang saya tulis di cerbung ini.
HapusMasyarakat desa Modo, Lamongan meyakini sebagai Dewi Andongsari sbg istri raja, tetapi tdk diperkuat bukti apapun.
Makanya saya sengaja memFiksikan beliau sebagai sosok istri seorang kesatria di Majapahit.
Luat biasa...
BalasHapusJadi bnyak tahu sejarah...
Masih ada kelnjutannya nga Ya?
Gelar tikar dulu..
hehehe ...
HapusInsya Allah sampai part 20
Kok bayanganku.. mas heru itu gajah mada ya?
BalasHapusHehehehe..😀😆😆
Mbk Nie-Na bisa aj ..
HapusHahaa
Liar biasa Mas heru.. Blajar sejarah jadi ga ngantuk gini, hhee
BalasHapusHehee .. biasa aj mbk Ciani
Hapus