Kamis, 19 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 14



Gajah Mada - image google

JAYANEGARA

Majapahit, 1328 Masehi.
Kematian Arya Semi meninggalkan kesedihan dan dendam di hati sahabatnya, Arya Kuti. Panglima perang Majapahit itu sejatinya juga sangat kecewa dengan kebijakan Prabu Jayanegara yang kontroversi selama memerintah.

Saudara seperguruan Arya Semi itu diam-diam menyusun rencana baru untuk menentang. Banyak para Dharmaputra yang sepaham dengannya. Kedudukannya sebagai seorang Panglima Perang membuat Arya Kuti mudah menggerakkan para prajurit. Kepribadian sang prabu yang dinilai amoral mencapai titik puncak kekecewaan para abdi dalem.

“Kami semua berada dibarisan pendukung kanjeng Arya Kuti!” Jawab para prajurit Arya Kuti, ketika ia mengutarakan bahwa malam itu akan ada sebuah gerakan makar terhadap Jayanegara.

“Bagus, semua Dharmaputra sudah aku hubungi. Mereka akan langsung bergabung dengan pasukan kita saat aku mulai menyergap kedaton keprabon!” Tegas Arya Kuti.

*****

Malam itu lima belas prajurit berjaga di taman petirtaan. Para abdi dalem dibawah pimpinan bekel Gajah Mada menjalankan tugas rutin menjaga dan mengamankan taman.

Gajah Mada sedang berjalan mengelilingi kompleks petirtaan. Ia tak pernah sedikitpun lengah menjalankan kewajibannya. Kepercayaan yang diberikan kepadanya membuat sang bekel muda semakin tekun dalam berbhakti kepada negerinya.

Ia menghentikan langkah ketika firasatnya merasakan sebuah kejanggalan. Suasana malam ini terasa tidak seperti biasa, batinnya. Gajah Mada mendongak keatas. Tampak beberapa burung deres berterbangan dari arah barat.

“Ada apa di kedaton?” Pikir sang bekel muda. Jika tebakannya tidak salah, kawanan burung malam yang berhamburan kearah timur itu berasal dari pusat kotaraja. Gajah Mada memejamkan mata sesaat, mencoba memasang pendengaran tajam-tajam.

Derap langkah pasukan, bisiknya dalam hati. Gajah Mada segera berlari menuju gerbang petirtaan. “Prajuritku, bersiagalah! Firasatku tidak enak!” Perintahnya.

“Kalian tetap berjaga disini. Aku akan menuju kedaton!” Seketika itu Gajah Mada segera berlari menuju kedaton. Ia sengaja mengambil jalan melalui balik semak belukar perkebunan.

Sampai di pusat kota Gajah Mada terkejut. Ratusan prajurit bela pati sudah bertempur habis-habisan di depan pendopo. Perlawanan tidak seimbang. Jumlah pasukan penyerang yang semuanya menutup wajah dengan kain hitam jauh lebih besar. Satu per satu pasukan bela pati kedaton Majapahit berguguran.

Tiba-tiba Gajah Mada teringat Prabu Jayanegara. “Gusti Prabu! Bagaimana kondisinya?” Tanpa berpikir panjang ia langsung menyelinap ke pendopo. Mencari jalan menuju kedaton.

Sampai di depan pintu kedaton, ia melihat beberapa orang kawanan penyerang sudah bersitegang dengan abdi dalem penjaga istana.

“Minggir atau tombak ini akan menghabisi nyawa kalian!” Bentak seorang penyerang. Ia mengacungkan sebuah tombak bermata tiga. Tanpa berpikir panjang langsung membabatkan kearah para penjaga gerbang istana. Prajurit bela pati pun berjatuhan.

“Kanjeng Arya Kuti?” Gajah Mada terperangan. Ia tidak percaya dengan kejadian yang ada didepan matanya. Ternyata pasukan pemberontak ini dipimpin sang Panglima Perang Majapahit sendiri, Arya Kuti.

Gajah Mada juga melihat beberapa Dharmaputra ikut dalam pasukan penyerang itu. Hingga seluruh prajurit bela pati istana nyaris tewas tak tersisa.

Arya Kuti berhasil menerobos serambi kedaton. Tangannya masih memegang tombak. Dengan sekali tebas, matilah kau Jayanegara, raja durjana! Pikirnya.

“Arya Kuti!” Teriak Prabu Jayanegara.

“Berani sekali kau berkhianat!” Bentaknya.

“Tak usah banyak bicara gusti prabu! Ajalmu telah tiba!” Arya Kuti langsung menebaskan tombak kearah tubuh Prabu Jayanegara. Namun belum sempat senjatanya menyentuh tubuh sang raja, tiba-tiba sesosok berbadan tinggi besar menendang pergelangan tangan Arya Kuti.

Tombak Arya Kuti jatuh terpental. Dihadapannya kini sudah berdiri seseorang yang memakai cadar putib menutupi wajah. Ia mengambil tombak yang jatuh, lalu mengulurkan kembali kepada Arya Kuti.

“Ini tombakmu. Lawanlah aku sebelum menyentuh gusti Prabu Jayanegara!” Tantang lelaki bertubuh tegap itu.

“Kurang Ajar! Siapa kamu?” Arya Kuti marah. Ia melemparkan lagi tombaknya ke lantai. Giginya gemeletuk. Tangannya gemetaran menahan murka. Wajahnya memerah, menahan amarah atas pelecehan orang dihadapannya.

“Aku perisai Majapahit! Tugasku membentengi raja dan negeri ini!” Ucap lelaki yang berdiri dihadapan Arya Kuti. Tangannya bersiaga melindungi Prabu Jayanegara yang berlindung dibalik tubuhnya.

“Kau akan mati bersama rajamu yang durjana itu!” Arya Kuti semakin murka. Tangannya menyelinap kebalik baju. Sebuah trisula kini tergenggam ditangan kanan Panglima Perang Majapahit yang telah berkhianat malam itu.

Trisula Patmayoni, aku membutuhkanmu!” Terdengar suara komat-kamit dari mulut Arya Kuti. Seketika kilatan cahaya merah memancar dari trisula yang digenggam sang pemimpin pemberontak. Sinarnya menyilaukan seluruh ruang istana.

Sesosok lelaki yang masih berdiri dihadapan Arya Kuti pun bergeser. Ia mundur satu langkah, mengatur kuda-kuda dan membisikkan sesuatu kepada raja yang ada dibelakangnya. “Ampun gusti prabu Jayanegara, mohon paduka menutup rapat-rapat telinga!”

Dalam hitungan beberapa detik, sang lelaki bertubuh besar dihadapan Arya Kuti melakukan hal yang sama. Ia mengeluarkan sebuah senjata berbentuk tujuh lekukan.

Kilatan cahaya terang yang tak kalah hebat terpancar pula. Kali ini disertai gemelegar suara yang menggetarkan seluruh bangunan istana Majapahit. Kilat terlihat menyambar-nyambir diatas langit kotaraja. Keris Luk Pitu telah tergenggam di tangan lelaki itu!

“Siapa kamu sebenarnya?” Arya Kuti mundur beberapa langkah. Belum sempat ia memasang kuda-kuda, lawan dihadapannya sudah menerjang. Tendangan lelaki yang mengacungkan keris luk pitu membuat Arya Kuti terjengkang. Ia tersungkur.

“Maaf kanjeng Arya Kuti, waktuku tidak banyak. Kelak aku akan kembali lagi untuk bertarung denganmu!” Jawab seseorang yang tak lain adalah bekel di taman petirtaan, Gajah Mada.

Ia segera mendekat lagi ke arah Prabu Jayanegara. “Gusti prabu, hamba Gajah Mada. Bekel di taman petirtaan. Maaf kalau lancang melakukan ini!” Tanpa menunggu rajanya berucap, Gajah Mada langsung mengangkat tubuh Kalagemet. Ia menggendongnya lalu berlari meninggalkan istana.

“Kemana kau Jayanegara? Kau lari, berarti kau menyerah!” Teriak Arya Kuti yang masih belum mampu bangun. Tendangan Gajah Mada tadi terlalu kuat.

*****

“Cepat siapkan kuda-kuda kalian!” Perintah Gajah Mada ketika sampai di taman petirtaan. Ia menggendong Prabu Jayanegara kesana. Menemui para prajuritnya.

“Sendiko dawuh gusti!” Jawab para abdi dalem taman petirtaan serempak. Tak lama, lima belas prajurit bawahan Gajah Mada sudah bersiap dengan kudanya.

“Gusti Prabu Jayanegara, untuk sementara kita menyingkir dahulu dari kotaraja. Kekuatan pasukan Panglima Perang Arya Kuti terlalu besar. Para Dharmaputra juga banyak yang bergabung dengan pemberontak itu.” Ucap Gajah Mada sambil menyembah sang raja Majapahit.

“Terima kasih bekel, kau telah menyelamatkanku. Aku menurut saja akan kamu bawa kemana.” Jawab Prabu Jayanegara.

“Sekarang mari kita berangkat. Prajuritku, kita menuju hutan Tarik!” Perintah Gajah Mada.

Malam itu, dengan dikawal lima belas prajurit setianya, Gajah Mada membawa Prabu Jayanegara meninggalkan kotaraja. Ia memacu kudanya memasuki hutan Tarik. Terus kearah barat. Menuju tempat yang semakin jauh dari Trowulan, Majapahit.

*****

“Tempat ini pasti akan menjadi tujuan pertama para pemberontak.” Ucap Ki Gede Sidowayah ketika mendengar penuturan momongannya. Hari itu Gajah Mada membawa Prabu Jayanegara ke rumah boponya, pulang ke desa Modo.

“Ingatlah Mada, satu-satunya bekel yang kini menghilang dari istana adalah kamu thole. Itu artinya sang pemberontak yang kamu ceritakan tadi akan bisa menebak bahwa yang menyelamatkan Gusti Prabu Jayanegara adalah dirimu!” Jelas Ki Gede Sidowayah.

“Terus kami harus kemana bopo?” Tanya Gajah Mada.

“Bawalah gusti prabu keluar desa ini. Sembunyikan beliau dirumah adikku dan biyungmu, di desa Badander.” Lanjut Ki Gede Sidowayah.

“Baiklah bopo, aku mengikuti saranmu saja. Sekarang Mada akan menemui gusti prabu yang sedang beristirahat di dalam bilikku.” Jawab Gajah Mada. Ia lalu masuk ke bilik yang dulu menjadi tempat tidurnya. Kini Prabu Jayanegara ia istrihatkan disana.

Dengan diantar Ki Gede Sidowayah, akhirnya Gajah Mada bersama lima belas prajurit setianya berangkat lagi meninggalkan desa Modo. Mereka membawa Prabu Jayanegara bersembunyi di sebuah rumah saudara boponya, di desa Badander.

*****

“Gusti Prabu Jayanegara, paduka aman disini.” Sembah Gajah Mada.

“Sekali lagi terima kasih Gajah Mada, tanpa pertolonganmu mungkin aku sudah terbunuh oleh Arya Kuti.” Jawab sang raja.

“Sekarang hamba mohon pamit. Hamba akan kembali ke kotaraja. Percayakan pada hamba, istana akan kita rebut lagi!” Ucap Gajah Mada. Ia meninggalkan Prabu Jayanegara beserta lima belas prajuritnya didesa Badander. Hari itu juga, sang bekel muda memacu kudanya kembali ke Trowulan, Majapahit.

*****

Pendopo Majapahit gempar!
Sang bekel penjaga taman petirtaan yang berhari-hari ini menghilang bersama para prajuritnya telah kembali di istana. Gajah Mada mengamuk di kedaton, mencari Arya Kuti yang telah berkhianat dan mengkudeta singgasana raja Majapahit.

“Akhirnya kau menampakkan diri juga. Ternyata kamulah yang membawa lari Jayanegara!” Ucap Arya Kuti ketika Gajah Mada berhasl menerobos istana.

“Wahai Arya Kuti, aku datang kesini atas nama Prabu Jayanegara. Menyerahlah!” Tantang Gajah Mada.

“Tutup mulutmu!” Arya Kuti yang masih menaruh dendam dengan kekalahan pertamanya saat bertarung dengan Gajah Muda dulu murka. Ia langsung mencabut Trisula Patmayoni dan menyerang Gajah Mada.

Terjadi adu ulah kanuragan di pendopo. Kilauan cahaya berkelebatan kesana-kemari terpancar dari benda pusaka yang dipegang Arya Kuti. Pergumulan itu tak berlangsung lama. Dengan sebuah gerakan membelakangi tubuh lawannya, Gajah Mada berhasil menghunjamkan Keris Luk Pitu yang dicabutnya secara tersembunyi tepat menusuk jantung Arya Kuti. Hanya satu gerakan!

Arya Kuti menggelepar dan tersungkur meregang nyawa.

Berita kematian Arya Kuti langsung menyebar ke seluruh negeri. Lima belas pasukan pengawal setia Prabu Jayanegara pun membawa kembali raja Majapahit ke istana.

Dyah Gitarja, putri Prabu Kertarajasa Jayawardana yang mendengar bahwa kakaknya telah selamat dari pemberontakan Panglima Perang Arya Kuti segera berangkat dari Daha. Ia penasaran ingin mengetahui sosok penyelamat Prabu Jayanegara.

Di kedaton Majapahit, Dyah Gitarja dikenalkan dengan sang bekel. Prabu Jayanegara juga menjanjikan akan memberikan penghargaan atas kesetiaan dan jasa Gajah Mada.

Atas permintaan Dyah Gitarja, akhirnya Prabu Jayanegara menyerahkan Gajah Mada kepada adik perempuannya itu. Ia pun diangkat menjadi Patih di negeri vassal, Daha.

*****

BERSAMBUNG

Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
----------------------------------------

Negeri vassal = Wilayah provinsi.

13 komentar:

  1. Menegangkan sekali part kali ini. Gajah mada kesetiaannya patuh diajungi jempol.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih aa.
      Msh pnjang, tp kok tinggal 6 hari doank postingnya.

      Hapus
  2. Sulit memang mengenal musuh dalam selimut. Eh, tak keluar tema kan, ya... hehe

    Si mada jagoan.. lanjutkan perjuangan.

    BalasHapus
  3. Greget bnget...
    Seakan ikut berperang..
    Lanjutkan...

    BalasHapus
  4. Mada Keren, sekali gerakan musuh tumbang. Aku padamu Mada..😍😍😍😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga padamu mbk Na! Jawab Mada.
      Hahaaa ...

      Hapus
  5. Wah, Mas Heru..saya jadi seolah larut dalam peperangan itu. Salut. Keren ini bisa membawa pembaca hanyut dalam cerita.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *