Gajah Mada - image google |
JAYANEGARA
Majapahit, 1328 Masehi.
Kematian Arya Semi
meninggalkan kesedihan dan dendam di hati sahabatnya, Arya Kuti. Panglima
perang Majapahit itu sejatinya juga sangat kecewa dengan kebijakan Prabu
Jayanegara yang kontroversi selama memerintah.
Saudara
seperguruan Arya Semi itu diam-diam menyusun rencana baru untuk menentang. Banyak para
Dharmaputra yang sepaham dengannya. Kedudukannya sebagai seorang Panglima Perang
membuat Arya Kuti mudah menggerakkan para prajurit. Kepribadian sang prabu yang
dinilai amoral mencapai titik puncak
kekecewaan para abdi dalem.
“Kami semua berada
dibarisan pendukung kanjeng Arya Kuti!” Jawab para prajurit Arya Kuti, ketika
ia mengutarakan bahwa malam itu akan ada sebuah gerakan makar terhadap
Jayanegara.
“Bagus, semua
Dharmaputra sudah aku hubungi. Mereka akan langsung bergabung dengan pasukan
kita saat aku mulai menyergap kedaton
keprabon!” Tegas Arya Kuti.
*****
Malam itu lima
belas prajurit berjaga di taman petirtaan. Para abdi dalem dibawah pimpinan bekel Gajah Mada menjalankan tugas rutin
menjaga dan mengamankan taman.
Gajah Mada sedang
berjalan mengelilingi kompleks petirtaan. Ia tak pernah sedikitpun lengah
menjalankan kewajibannya. Kepercayaan yang diberikan kepadanya membuat sang
bekel muda semakin tekun dalam berbhakti kepada negerinya.
Ia menghentikan
langkah ketika firasatnya merasakan sebuah kejanggalan. Suasana malam ini terasa
tidak seperti biasa, batinnya. Gajah Mada mendongak keatas. Tampak beberapa
burung deres berterbangan dari arah
barat.
“Ada apa di kedaton?” Pikir sang bekel muda. Jika
tebakannya tidak salah, kawanan burung malam yang berhamburan kearah timur itu
berasal dari pusat kotaraja. Gajah Mada memejamkan mata sesaat, mencoba
memasang pendengaran tajam-tajam.
Derap langkah
pasukan, bisiknya dalam hati. Gajah Mada segera berlari menuju gerbang petirtaan. “Prajuritku,
bersiagalah! Firasatku tidak enak!” Perintahnya.
“Kalian tetap
berjaga disini. Aku akan menuju kedaton!” Seketika itu Gajah Mada segera
berlari menuju kedaton. Ia sengaja mengambil jalan melalui balik semak belukar perkebunan.
Sampai di pusat
kota Gajah Mada terkejut. Ratusan prajurit bela pati sudah bertempur
habis-habisan di depan pendopo. Perlawanan tidak seimbang. Jumlah pasukan
penyerang yang semuanya menutup wajah dengan kain hitam jauh lebih besar.
Satu per satu pasukan bela pati kedaton Majapahit berguguran.
Tiba-tiba Gajah
Mada teringat Prabu Jayanegara. “Gusti Prabu! Bagaimana kondisinya?” Tanpa
berpikir panjang ia langsung menyelinap ke pendopo. Mencari jalan menuju
kedaton.
Sampai di depan pintu kedaton, ia melihat beberapa orang kawanan penyerang sudah bersitegang dengan abdi
dalem penjaga istana.
“Minggir atau
tombak ini akan menghabisi nyawa kalian!” Bentak seorang penyerang. Ia
mengacungkan sebuah tombak bermata tiga. Tanpa berpikir panjang langsung
membabatkan kearah para penjaga gerbang istana. Prajurit bela pati pun
berjatuhan.
“Kanjeng Arya Kuti?”
Gajah Mada terperangan. Ia tidak percaya dengan kejadian yang ada didepan matanya.
Ternyata pasukan pemberontak ini dipimpin sang Panglima Perang Majapahit
sendiri, Arya Kuti.
Gajah Mada juga
melihat beberapa Dharmaputra ikut dalam pasukan penyerang itu. Hingga seluruh
prajurit bela pati istana nyaris tewas tak tersisa.
Arya Kuti berhasil menerobos serambi kedaton. Tangannya masih
memegang tombak. Dengan sekali tebas, matilah kau Jayanegara, raja
durjana! Pikirnya.
“Arya Kuti!”
Teriak Prabu Jayanegara.
“Berani sekali kau
berkhianat!” Bentaknya.
“Tak usah banyak
bicara gusti prabu! Ajalmu telah tiba!” Arya Kuti langsung menebaskan tombak kearah tubuh Prabu Jayanegara. Namun belum sempat senjatanya menyentuh tubuh
sang raja, tiba-tiba sesosok berbadan tinggi besar menendang pergelangan tangan
Arya Kuti.
Tombak Arya Kuti
jatuh terpental. Dihadapannya kini sudah berdiri seseorang yang memakai cadar putib menutupi wajah. Ia mengambil tombak yang jatuh, lalu mengulurkan kembali
kepada Arya Kuti.
“Ini tombakmu.
Lawanlah aku sebelum menyentuh gusti Prabu Jayanegara!” Tantang lelaki bertubuh
tegap itu.
“Kurang Ajar!
Siapa kamu?” Arya Kuti marah. Ia melemparkan lagi tombaknya ke lantai. Giginya
gemeletuk. Tangannya gemetaran menahan murka. Wajahnya memerah, menahan amarah
atas pelecehan orang dihadapannya.
“Aku perisai Majapahit!
Tugasku membentengi raja dan negeri ini!” Ucap lelaki yang berdiri
dihadapan Arya Kuti. Tangannya bersiaga melindungi Prabu Jayanegara yang berlindung dibalik tubuhnya.
“Kau akan mati
bersama rajamu yang durjana itu!” Arya Kuti semakin murka. Tangannya menyelinap
kebalik baju. Sebuah trisula kini tergenggam ditangan kanan Panglima
Perang Majapahit yang telah berkhianat malam itu.
“Trisula Patmayoni, aku membutuhkanmu!”
Terdengar suara komat-kamit dari mulut Arya Kuti. Seketika kilatan cahaya merah
memancar dari trisula yang digenggam sang pemimpin pemberontak. Sinarnya
menyilaukan seluruh ruang istana.
Sesosok lelaki
yang masih berdiri dihadapan Arya Kuti pun bergeser. Ia mundur satu langkah,
mengatur kuda-kuda dan membisikkan sesuatu kepada raja yang ada dibelakangnya. “Ampun
gusti prabu Jayanegara, mohon paduka menutup rapat-rapat telinga!”
Dalam hitungan
beberapa detik, sang lelaki bertubuh besar dihadapan Arya Kuti melakukan hal
yang sama. Ia mengeluarkan sebuah senjata berbentuk tujuh lekukan.
Kilatan cahaya
terang yang tak kalah hebat terpancar pula. Kali ini disertai gemelegar suara
yang menggetarkan seluruh bangunan istana Majapahit. Kilat terlihat
menyambar-nyambir diatas langit kotaraja. Keris
Luk Pitu telah tergenggam di tangan lelaki itu!
“Siapa kamu
sebenarnya?” Arya Kuti mundur beberapa langkah. Belum sempat ia memasang
kuda-kuda, lawan dihadapannya sudah menerjang. Tendangan lelaki yang
mengacungkan keris luk pitu membuat Arya Kuti terjengkang. Ia tersungkur.
“Maaf kanjeng Arya
Kuti, waktuku tidak banyak. Kelak aku akan kembali lagi untuk bertarung
denganmu!” Jawab seseorang yang tak lain adalah bekel di taman petirtaan, Gajah
Mada.
Ia segera mendekat
lagi ke arah Prabu Jayanegara. “Gusti prabu, hamba Gajah Mada. Bekel di taman
petirtaan. Maaf kalau lancang melakukan ini!” Tanpa menunggu rajanya berucap,
Gajah Mada langsung mengangkat tubuh Kalagemet. Ia menggendongnya lalu berlari
meninggalkan istana.
“Kemana kau
Jayanegara? Kau lari, berarti kau menyerah!” Teriak Arya Kuti yang masih belum
mampu bangun. Tendangan Gajah Mada tadi terlalu kuat.
*****
“Cepat siapkan
kuda-kuda kalian!” Perintah Gajah Mada ketika sampai di taman petirtaan. Ia
menggendong Prabu Jayanegara kesana. Menemui para prajuritnya.
“Sendiko dawuh
gusti!” Jawab para abdi dalem taman petirtaan serempak. Tak lama, lima belas prajurit
bawahan Gajah Mada sudah bersiap dengan kudanya.
“Gusti Prabu
Jayanegara, untuk sementara kita menyingkir dahulu dari kotaraja. Kekuatan pasukan
Panglima Perang Arya Kuti terlalu besar. Para Dharmaputra juga banyak yang
bergabung dengan pemberontak itu.” Ucap Gajah Mada sambil menyembah sang raja
Majapahit.
“Terima kasih bekel, kau telah menyelamatkanku. Aku
menurut saja akan kamu bawa kemana.” Jawab Prabu Jayanegara.
“Sekarang mari
kita berangkat. Prajuritku, kita menuju hutan Tarik!” Perintah Gajah Mada.
Malam itu, dengan
dikawal lima belas prajurit setianya, Gajah Mada membawa Prabu Jayanegara
meninggalkan kotaraja. Ia memacu kudanya memasuki hutan Tarik. Terus kearah
barat. Menuju tempat yang semakin jauh dari Trowulan, Majapahit.
*****
“Tempat ini pasti
akan menjadi tujuan pertama para pemberontak.” Ucap Ki Gede Sidowayah ketika
mendengar penuturan momongannya. Hari itu Gajah Mada membawa Prabu Jayanegara
ke rumah boponya, pulang ke desa Modo.
“Ingatlah Mada,
satu-satunya bekel yang kini
menghilang dari istana adalah kamu thole.
Itu artinya sang pemberontak yang kamu ceritakan tadi akan bisa menebak bahwa
yang menyelamatkan Gusti Prabu Jayanegara adalah dirimu!” Jelas Ki Gede
Sidowayah.
“Terus kami harus
kemana bopo?” Tanya Gajah Mada.
“Bawalah gusti
prabu keluar desa ini. Sembunyikan beliau dirumah adikku dan biyungmu, di desa Badander.” Lanjut Ki
Gede Sidowayah.
“Baiklah bopo, aku
mengikuti saranmu saja. Sekarang Mada akan menemui gusti prabu yang sedang
beristirahat di dalam bilikku.” Jawab Gajah Mada. Ia lalu masuk ke bilik yang
dulu menjadi tempat tidurnya. Kini Prabu Jayanegara ia istrihatkan
disana.
Dengan diantar Ki
Gede Sidowayah, akhirnya Gajah Mada bersama lima belas prajurit setianya
berangkat lagi meninggalkan desa Modo. Mereka membawa Prabu Jayanegara
bersembunyi di sebuah rumah saudara boponya, di desa Badander.
*****
“Gusti Prabu
Jayanegara, paduka aman disini.” Sembah Gajah Mada.
“Sekali lagi
terima kasih Gajah Mada, tanpa pertolonganmu mungkin aku sudah terbunuh oleh
Arya Kuti.” Jawab sang raja.
“Sekarang hamba
mohon pamit. Hamba akan kembali ke kotaraja. Percayakan pada hamba, istana akan
kita rebut lagi!” Ucap Gajah Mada. Ia meninggalkan Prabu Jayanegara beserta
lima belas prajuritnya didesa Badander. Hari itu juga, sang bekel muda memacu
kudanya kembali ke Trowulan, Majapahit.
Pendopo Majapahit
gempar!
*****
Sang bekel penjaga
taman petirtaan yang berhari-hari ini menghilang bersama para prajuritnya telah
kembali di istana. Gajah Mada mengamuk di kedaton, mencari Arya Kuti yang telah
berkhianat dan mengkudeta singgasana raja Majapahit.
“Akhirnya kau
menampakkan diri juga. Ternyata kamulah yang membawa lari Jayanegara!” Ucap
Arya Kuti ketika Gajah Mada berhasl menerobos istana.
“Wahai Arya Kuti,
aku datang kesini atas nama Prabu Jayanegara. Menyerahlah!” Tantang Gajah Mada.
“Tutup mulutmu!”
Arya Kuti yang masih menaruh dendam dengan kekalahan pertamanya saat bertarung
dengan Gajah Muda dulu murka. Ia langsung mencabut Trisula Patmayoni dan
menyerang Gajah Mada.
Terjadi adu ulah
kanuragan di pendopo. Kilauan cahaya berkelebatan kesana-kemari terpancar dari
benda pusaka yang dipegang Arya Kuti. Pergumulan itu tak berlangsung lama.
Dengan sebuah gerakan membelakangi tubuh lawannya, Gajah Mada berhasil
menghunjamkan Keris Luk Pitu yang dicabutnya secara tersembunyi tepat menusuk jantung
Arya Kuti. Hanya satu gerakan!
Arya Kuti
menggelepar dan tersungkur meregang nyawa.
Berita kematian
Arya Kuti langsung menyebar ke seluruh negeri. Lima belas pasukan pengawal
setia Prabu Jayanegara pun membawa kembali raja Majapahit ke istana.
Dyah Gitarja, putri Prabu Kertarajasa Jayawardana yang
mendengar bahwa kakaknya telah selamat dari pemberontakan Panglima Perang Arya
Kuti segera berangkat dari Daha. Ia penasaran ingin mengetahui sosok penyelamat
Prabu Jayanegara.
Di kedaton
Majapahit, Dyah Gitarja dikenalkan dengan sang bekel. Prabu
Jayanegara juga menjanjikan akan memberikan penghargaan atas kesetiaan dan jasa
Gajah Mada.
Atas permintaan
Dyah Gitarja, akhirnya Prabu Jayanegara menyerahkan Gajah Mada kepada adik
perempuannya itu. Ia pun diangkat menjadi Patih di negeri
vassal, Daha.
*****
BERSAMBUNG
Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
----------------------------------------
Negeri vassal = Wilayah provinsi.
Menegangkan sekali part kali ini. Gajah mada kesetiaannya patuh diajungi jempol.
BalasHapusMakasih aa.
HapusMsh pnjang, tp kok tinggal 6 hari doank postingnya.
Gajah Mada, i lope lope you
BalasHapusGajah Mada, i lope lope you
BalasHapusLove U too, kata Gajah Mada.
HapusHeheee ...
Sulit memang mengenal musuh dalam selimut. Eh, tak keluar tema kan, ya... hehe
BalasHapusSi mada jagoan.. lanjutkan perjuangan.
Siap!
HapusLanjutkan ... hehee
Greget bnget...
BalasHapusSeakan ikut berperang..
Lanjutkan...
Makasih mas Aim udh mampir.
HapusMada Keren, sekali gerakan musuh tumbang. Aku padamu Mada..😍😍😍😍
BalasHapusAku juga padamu mbk Na! Jawab Mada.
HapusHahaaa ...
Wah, Mas Heru..saya jadi seolah larut dalam peperangan itu. Salut. Keren ini bisa membawa pembaca hanyut dalam cerita.
BalasHapusBiasa aj mbk Denik.
HapusMakasih udh mampir.