Gajah Mada - image google |
GAJAH MADA
Sumpah Amukti
Palapa yang diikrarkan Gajah Mada mendapat cemoohan dari para Dhramaputra dan
punggawa senior di kedaton Majapahit. Mereka menganggap program politik dari
Mahapatih Amangkubumi baru itu hanya sebagai pencitraan. Menyatukan seluruh
wilayah Nusantara dalam satu kekuasaan sama saja bohong.
“Mimpi si Mahapatih
baru itu terlalu tinggi kakang!” Ucap Lembu Peteng, salah seorang Dharmaputra senior
di Majapahit.
“Gajah Mada hanya
besar omongnya. Berani-beraninya ia mengucapkan sumpah dengan taruhan sebesar
itu!” Jawab Jabung Rawes, seorang punggawa kedaton lainnya yang sedang
bercakap-cakap dengan Lembu Peteng.
“Kita lihat saja
nanti. Patih baru itu akan termakan sendiri oleh mulut besarnya!” Imbuh Jabung Rawes.
“Saat ia memulai
ekspansinya nanti, kita disini akan menunggu kabar duka kakang. Berita bahwa
Sang Mahapatih Amangkubumi Majapahit meregang nyawa di tanah Bali. Atau di
Tanjungpura!” Ejek Lembu Peteng.
“Hahaha… Gajah
Mada akan menjadi bangkai di bumi Tumasik!” Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak
mengejek sumpah dari Gajah Mada.
“Apalagi
menyeberang ke Pahang kakang. Si Mulut Besar itu akan menggali kuburnya sendiri
di tanah Melayu sana! Hahahaha …!” Tak kalah mencemooh, Lembu Peteng juga
terkekeh-kekeh.
Begitu banyak
kritik dan sindiran yang dilayangkan terhadap misi besar Gajah Mada. Tetapi
sang Mahapatih tidak bergeming sedikitpun. Sumpah dan tekadnya sudah bulat.
Kelak semua Dharmaputra dan punggawa itu akan menyambut kedatangannya yang
pulang membawa kemenangan besar untuk Majapahit, batin Gajah Mada.
*****
Majapahit, 1334 Masehi.
Setelah
melaksanakan tugas dari Chakra Dara melarung ari-ari dari jabang bayi Ratu
Tribhuwana Tunggadewi, Gajah Mada kembali ke kedaton. Ia menghadap kepada ratu
dan sang suami di istana keprabon.
“Gusti Ratu dan
kanjeng Chakra Dara, ari-ari putra mahkota sudah hamba larung ke sungai
Brantas. Semoga Dewata Agung mengabulkan semua harapan kita untuk menjadikan sang
jabang bayi sebagai raja yang mampu mengepakkan wilayah kekuasaan Majapahit
hingga ke samudera sebarang sana!” Ucap Gajah Mada.
“Terima kasih
kakang Gajah Mada. Sekarang jalannya pemerintahan aku percayakan kepadamu.
Untuk sementara aku akan lebih banyak beristirahat, memulihkan kondisi pasca
persalinan ini!” Jawab Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
“Pimpinlah semua
pertemuan rutin di paseban agung, kakang Gajah Mada!” Chakra Dara ikut ambil
bersuara. Sesekali tangannya membelai bayi di gendongan sang ratu Tribhuwana
Tunggadewi yang ia beri nama Hayam Wuruk.
“Sendiko dawuh
gusti!” Gajah Mada menyembah.
“Hamba juga ingin
melaporkan bahwa besok pagi Pasukan Bhayangkara akan hamba berangkatkan ke
Bali!” Lapornya. Pasukan Bhayangkara adalah pasukan yang dibentuk dan dilatih
Gajah Mada untuk mewujudkan sumpah Amukti Palapa. Menjalankan misi menaklukkan
seluruh wilayah Nusantara.
“Aku percayakan
semuanya kepadamu kakang!” Ucap ratu Tribhuwana Tunggadewi.
“Maksud hamba
melaporkan kemari sekaligus ingin berpamitan. Besok hamba sendiri yang akan
memimpin misi ini!” Jelas Gajah Mada.
“Apapun yang
menjadi keputusan dan kebijakanmu, aku selalu mendukung dan merestuinya. Aku
yakin kakang Gajah Mada akan mampu membawa pasukan Bhayangkara kita berjaya!”
Titah sang ratu.
“Terima kasih
gusti ratu. Gajah Mada akan membawa panji-panji Surya majapahit berkibar di
tanah Bali, Tanjungpura dan Seram!” Ucap Gajah Mada dengan nada suara dan mimik
wajah optimis. Ia pun undur diri dari kedaton.
*****
Pagi harinya, di
dermaga sungai Brantas Trowulan terjadi kesibukan luar biasa dari pasukan
Bhayangkara Majapahit. Ratusan perahu berbagai ukuran mulai rakit hingga kapal
layar sudah berjajar di aliran sungai itu.
Sang Panglima yang
memimpin misi itu tampak sibuk mengatur pasukannya. Persediaan logistik perang
seperti bahan makanan dan persenjataan dinaikkan ke kapal-kapal besar. Setelah
semua persiapan dirasa sudah lengkap, ia naik di diatas gladak kapal terbesar.
“Wahai pasukan
Bhayangkara Majapahit yang gagah perkasa. Hari ini kita akan menempuh
perjalanan panjang!” Sang Panglima Perang bersuara lantang.
“Sebuah perjalanan yang
akan membuat kita bertaruh nyawa. Demi membuktikan bhakti kita kepada
negeri tercinta ini!” Lanjutnya.
“Petualangan besar
menuju Bali, Dompu, Seram dan Tanjungpura. Kita akan menklukkannya, lalu
mengibarkan panji-panji Surya Majapahit disana!” Suara Panglima Perang itu terdengar
berapi-api.
“Aku Gajah Mada,
pemimpin misi ini! Pesanku hanya satu kalimat untuk kalian, tanamkan ke sanubari
kita masing-masing : Satu Nyali, Wani!” Gajah Mada
menggelorakan semangat pasukan Bhayanagkara itu. Sontak semua prajuritnya
memekikkan teriakan yang tak kalah bergelora.
“Hidup Majapahit!
Hidup Mahapatih Gajah Mada!” Sorak sorai para prajuritnya membahana.
Iring-iringan
kapal berbendera Surya Majapahit pun perlahan bergerak meninggalkan dermaga
Trowulan. Mereka menyusuri aliran sungai Brantas ke arah timur. Menembus muara
di perairan Selat Madura. Terus menyisir samudera ke arah timur lagi, membelah Selat
Blambangan.
*****
“Siapa pemimpin
pasukan ini?” Tanya seorang senopati berpakaian kebesaran kerajaan Buleleng
yang mendatangi rombongan pasukan Majapahit.
Hari itu, setelah
menempuh perjalan selama satu minggu, Gajah Mada membawa iring-iringan kapalnya
berlabuh di dermaga Gilimanuk. Sebelum mendarat, dari kejauhan ia sudah melihat
sepasukan tentara Buleleng Bali telah menghadang di tepi dermaga.
“Aku pemimpin
pasukan ini!” Ucap Gajah Mada yang turun dari gladak kapalnya.
“Siapa kalian?
Pasukan darimana?” Tanya sang senopati.
“Aku Gajah Mada,
Mahapatih Amangkubumi Majapahit, dari tanah Jawa Dwipa!” Dengan tenang Gajah
Mada mendekat.
“Apa maksud kalian
membawa pasukan sebanyak ini ke tanah Bali?” Senopati Buleleng kambali
bertanya. Sorot mata dan mimik wajahnya tampak menyimpan ketidaksukaan dengan
kedatangan pasukan Majapahit.
“Aku mewakili
negeriku Majapahit, ingin bertemu raja Buleleng!” Jawab Gajah Mada.
“Ada perlu apa
dengan raja kami?” Senopati Buleleng belum puas. Terus mengejar dengan berbagai
pertanyaan. Ia menangkap gelagat mencurigakan dari invasi pasukan Gajah Mada
itu.
“Aku ingin menyampaikan
kepada rajamu bahwa Buleleng hendaknya mengakui kedaulatan Majapahit sebagai
penguasa Nusantara!” Ucap Gajah Mada.
“Mengakui kedaulatan
Majapahit? Apa maksudnya?” Tanya senopati kerajaan Buleleng lagi. Ia memberikan
isyarat kepada para tentaranya yang langsung bersiaga di belakangnya.
Gajah Mada sigap.
Hal yang sama juga dilakukannya. Diangkatnya telapak tangannya keatas, memberi
aba-aba kepada pasukan Byangkara Majapahit yang segera turun dari kapal-kapal
mereka. Dengan cepat mereka membentuk formasi pula di belakang sang Mahapatih
Amangkubumi Majapahit.
“Mengakui
kedaulatan Majapahit artinya tunduk pada kami sebagai penguasa Nusantara! Buleleng
adalah negeri vassal di bawah kekuasaan ratu kami, Majapahit. Kami menawarkan
ini dengan baik-baik!” Jelas
Gajah Mada.
“Ternyata bukan cuma
badanmu yang besar. Mulutmu juga besar sekali!” Ucap Senopati Buleleng yang tersinggung
dengan niat Majapahit. Ia langsung mencabut tombaknya. Dengan penuh amarah
menebaskan senjata itu ke tubuh Gajah Mada.
Panglima Perang
Majapahit melompat dan berkelit. Serangan Senopati Buleleng mengenai udara
kosong. Seketika itu, ratusan tentara Buleleng berhamburan ikut menerjang ke
barisan pasukan Gajah Mada.
Terjadi perang
pembuka di dermaga Gilimanuk. Armada Bhayangkara Majapahit yang berjumlah lebih
besar dengan mudah mengatasi penghadangan pasukan kerajaan Buleleng. Satu per
satu tentara Bali berjatuhan.
Di barisan
terdepan, Senopati Buleleng terus menebaskan tombak ke kiri-kanan. Namun Gajah
Mada terlalu tangguh untuknya. Kepalan tangan momongan Ki Gede Sidowayah yang
berukuran besar pun melayang ke wajah sang Senopati. Ia terjerembab, tombaknya
terpental dan langsung disambar Gajah Mada. Dengan sekali lemparan, senjata itu
menancap tepat di dahi pemiliknya. Tak bergerak lagi. Perlawanan Senopati
Buleleng selesai!
Tentara Buleleng
yang tersisa dan masih hidup langsung berlarian tunggang langgang setelah
mengetahui senopati mereka tewas oleh Gajah Mada. Sementara pasukan Bhayangkara
Majapahit bersorak sorai menyambut kemenangan awal ini.
“Kalian yang masih
selamat, beritahukan kepada rajamu bahwa kami akan datang ke Buleleng setelah
ini!” Teriak Gajah Mada kepada sisa-sisa tentara Buleleng yang lari
meninggalkan dermaga Gilimanuk.
“Prajuritku yang
gagah perkasa, kalian beristirahatlah sebentar. Nanti kita bergerak lagi
menyusuri pantai pulau ini. Menuju pusat kotaraja Buleleng!” Gajah mada
menyuruh pasukannya beristirahat sejenak. Tak lama kemudian, iring-iringan ratusan
kapal armada Majapahit kembali bergerak kea rah timur. Menyusuri perairan di
bibir pantai Bali.
*****
“Sembah paduka
untuk Raja Buleleng yang agung. Terimalah salam dari pemimpin negeri kami, Ratu
Tribhuwana Tunggadewi!” Ucap Gajah Mada ketika ia menemui raja Buleleng di
pendopo istananya.
“Katakan apa yang
menjadi tujuan kalian mengirim pasukan sebanyak ini ke Bali?” Tanya Raja
Buleleng.
“Kami ingin
mengajak Buleleng bergabung secara baik-baik. Mengakui kedaulatan Nusantara
dalam satu kekuasaan Majapahit!” Jelas Gajah Mada.
“Jangan bermimpi
kalian orang-orang Majapahit!” Raja Buleleng mulai terpancing amarahnya. Ajakan
baik-baik untuk mengakui kedaulatan Majapahit sama saja merendahkan harga
dirinya.
“Tak ada sejengkal
tanahpun dari Buleleng yang akan dapat ditaklukkan Majapahit. Kau dan semua
pasukanmu akan pulang ke Jawa Dwipa tinggal nama!” Ucap Pangeran Buleleng yang
ikut angkat bicara. Putra Mahkota itu berdiri dari tempatnya sambil menunjuk wajah Gajah Mada.
“Surya Majapahit
akan dikibarkan dengan darah orang-orang Buleleng hari ini!” Gajah Mada
langsung berdiri, menerobos keluar paseban.
Di halaman
pendopo, ratusan pasukan Bhayangkara Majapahit sudah berhadap-hadapan dengan
tentara kerajaan Buleleng. Gajah Mada yang baru keluar dari paseban dikejar
Panglima Perang Buleleng.
“Jangan lari kau
si Mulut Besar!” Teriak sang panglima Perang.
“Bukan watak Gajah
Mada lari dari musuh!” jawab Gajah Mada.
“Aku keluar dari
paseban karena menghormati pendopo sebagai sebuah bangunan agung!“ Jelas Sang
Mahapatih Amangkubumi Majapahit itu.
“Upacara kremasimu
sudah disiapkan disini!” Ucap sang Panglima Perang Buleleng. Tangannya
mengacungkan sebuah trisula besar.
Sontak tentara Buleleng yang dari tadi menunggu moment ini langsung maju memecah
barikade pasukan Majapahit.
Pertempuran besar
pun tak terelakkan. Di halaman pendopo kerajaan Buleleng yang luas itu kedua
pasukan saling serang. Suara pedang, tombak dan tameng beradu terdengar
gemerincing.
Gajah Mada
merundukkan kepalanya ketika sebuah sabetan trisula milik Panglima Perang
Buleleng nyaris menghunjam lehernya. Belum sempat ia memasang kuda-kuda,
sabetan datang dari arah yang lain. Ternyata Pangeran Buleleng ikut
menyerangnya juga. Kini satu lawan dua.
Baik Panglima
Perang maupun Putra Mahkota Buleleng sama-sama membabi buta melayangkan serangan
ke tubuh Gajah Mada. Sebaliknya, Mahapatih Amangkubumi Majapahit asal desa Modo terus bertahan menghindarinya.
Gajah Mada mundur
beberapa langkah. Tangan kanannya merogoh ke balik baju. Sesaat ia memejamkan
mata. Mengucapkan beberapa kalimat yang seperti berbisik ke benda yang
dirogohnya.
Sebuah pusaka
berbentuk tujuh lekukan telah terhunus.
Gajah Mada mengacungkannya tinggi-tinggi. Cahaya berkilauan keluar dari keris itu. Sinarnya menyambar
kesana-kemari ke seluruh halaman pendopo. Langit Buleleng seketika tertutup
mendung. Suara halilintar bergelegar berkali-kali.
Tentara Buleleng
berlarian ketakutan. Keris yang kini
dipegang Gajah Mada bukan hanya memancarkan cahaya terang benderang yang
menyilaukan mata mereka. Tetapi suara gelegar guntur di langit Buleleng juga dikarenakan
pusaka milik momongan Nyai Wora Wari itu dicabut dari rangkanya.
Keadaan berbalik.
Gajah Mada yang ganti menerjang ke arah Panglima Perang Buleleng. Sekali tebas,
Keris Luk Pitu sudah menghunjam di
jantung musuhnya. Tanpa sempat berkelit sedikitpun, sang Panglima Perang seketika
roboh meregang nyawa. Hanya satu gerakan!
Putra Mahkota Bali
segera duduk bersimpuh dihadapan Gajah Mada. Tubuhnya gemetaran begitu hebat. Ia
menyerah dan memerintahkan semua tentara Buleleng meletakkan senjata mereka.
Raja Buleleng
berserta putranya akhirnya menyatakan kalah. Ia pun menulis sabda yang berisi pengakuan bahwa Bali merupakan negeri vassal (provinsi) dibawah
kedaulatan Nusantara. Satu negeri, Majapahit!
*****
BERSAMBUNG
Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]#OneDayOnePost
-------------------------
Catatan :
Wani = Berani.
Negeri vassal = Provinsi.
Surya Majapahit adalah lambang negeri Majapahit. Menggunakan simbol matahari beserta delapan penjuru arah mata angin. Sebuah batu prasasti bermotiv Surya Majapahit saat ini bisa kita temui di Museum Trowulan Majapahit, Mojokerto Jatim.
Surya Majapahit - image google |
Surya Majapahit terukir dalam sebuah batu andesit - image google |
Gajah Mada hebat...
BalasHapushehe .. iya lah
Hapusiya..gajah mada memang hebat
BalasHapusmatur suwun mbkyu
HapusMada keren... bisa mengalahkan dan membuat buleleng kalah...
BalasHapusBali sudah ditaklukan.
BalasHapusSatu negeri. Majapahit.
BalasHapus