Senin, 23 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 16



Gajah Mada - image google

GAJAH MADA

Sumpah Amukti Palapa yang diikrarkan Gajah Mada mendapat cemoohan dari para Dhramaputra dan punggawa senior di kedaton Majapahit. Mereka menganggap program politik dari Mahapatih Amangkubumi baru itu hanya sebagai pencitraan. Menyatukan seluruh wilayah Nusantara dalam satu kekuasaan sama saja bohong.

“Mimpi si Mahapatih baru itu terlalu tinggi kakang!” Ucap Lembu Peteng, salah seorang Dharmaputra senior di Majapahit.

“Gajah Mada hanya besar omongnya. Berani-beraninya ia mengucapkan sumpah dengan taruhan sebesar itu!” Jawab Jabung Rawes, seorang punggawa kedaton lainnya yang sedang bercakap-cakap dengan Lembu Peteng.

“Kita lihat saja nanti. Patih baru itu akan termakan sendiri oleh mulut besarnya!” Imbuh Jabung Rawes.

“Saat ia memulai ekspansinya nanti, kita disini akan menunggu kabar duka kakang. Berita bahwa Sang Mahapatih Amangkubumi Majapahit meregang nyawa di tanah Bali. Atau di Tanjungpura!” Ejek Lembu Peteng.

“Hahaha… Gajah Mada akan menjadi bangkai di bumi Tumasik!” Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak mengejek sumpah dari Gajah Mada.

“Apalagi menyeberang ke Pahang kakang. Si Mulut Besar itu akan menggali kuburnya sendiri di tanah Melayu sana! Hahahaha …!” Tak kalah mencemooh, Lembu Peteng juga terkekeh-kekeh.

Begitu banyak kritik dan sindiran yang dilayangkan terhadap misi besar Gajah Mada. Tetapi sang Mahapatih tidak bergeming sedikitpun. Sumpah dan tekadnya sudah bulat. Kelak semua Dharmaputra dan punggawa itu akan menyambut kedatangannya yang pulang membawa kemenangan besar untuk Majapahit, batin Gajah Mada.

*****
Majapahit, 1334 Masehi.
Setelah melaksanakan tugas dari Chakra Dara melarung ari-ari dari jabang bayi Ratu Tribhuwana Tunggadewi, Gajah Mada kembali ke kedaton. Ia menghadap kepada ratu dan sang suami di istana keprabon.

“Gusti Ratu dan kanjeng Chakra Dara, ari-ari putra mahkota sudah hamba larung ke sungai Brantas. Semoga Dewata Agung mengabulkan semua harapan kita untuk menjadikan sang jabang bayi sebagai raja yang mampu mengepakkan wilayah kekuasaan Majapahit hingga ke samudera sebarang sana!” Ucap Gajah Mada.

“Terima kasih kakang Gajah Mada. Sekarang jalannya pemerintahan aku percayakan kepadamu. Untuk sementara aku akan lebih banyak beristirahat, memulihkan kondisi pasca persalinan ini!” Jawab Ratu Tribhuwana Tunggadewi.

“Pimpinlah semua pertemuan rutin di paseban agung, kakang Gajah Mada!” Chakra Dara ikut ambil bersuara. Sesekali tangannya membelai bayi di gendongan sang ratu Tribhuwana Tunggadewi yang ia beri nama Hayam Wuruk.

“Sendiko dawuh gusti!” Gajah Mada menyembah.

“Hamba juga ingin melaporkan bahwa besok pagi Pasukan Bhayangkara akan hamba berangkatkan ke Bali!” Lapornya. Pasukan Bhayangkara adalah pasukan yang dibentuk dan dilatih Gajah Mada untuk mewujudkan sumpah Amukti Palapa. Menjalankan misi menaklukkan seluruh wilayah Nusantara.

“Aku percayakan semuanya kepadamu kakang!” Ucap ratu Tribhuwana Tunggadewi.

“Maksud hamba melaporkan kemari sekaligus ingin berpamitan. Besok hamba sendiri yang akan memimpin misi ini!” Jelas Gajah Mada.

“Apapun yang menjadi keputusan dan kebijakanmu, aku selalu mendukung dan merestuinya. Aku yakin kakang Gajah Mada akan mampu membawa pasukan Bhayangkara kita berjaya!” Titah sang ratu.

“Terima kasih gusti ratu. Gajah Mada akan membawa panji-panji Surya majapahit berkibar di tanah Bali, Tanjungpura dan Seram!” Ucap Gajah Mada dengan nada suara dan mimik  wajah optimis. Ia pun undur diri dari kedaton.

*****

Pagi harinya, di dermaga sungai Brantas Trowulan terjadi kesibukan luar biasa dari pasukan Bhayangkara Majapahit. Ratusan perahu berbagai ukuran mulai rakit hingga kapal layar sudah berjajar di aliran sungai itu.

Sang Panglima yang memimpin misi itu tampak sibuk mengatur pasukannya. Persediaan logistik perang seperti bahan makanan dan persenjataan dinaikkan ke kapal-kapal besar. Setelah semua persiapan dirasa sudah lengkap, ia naik di diatas gladak kapal terbesar.

“Wahai pasukan Bhayangkara Majapahit yang gagah perkasa. Hari ini kita akan menempuh perjalanan panjang!” Sang Panglima Perang bersuara lantang.

Sebuah perjalanan yang akan membuat kita bertaruh nyawa. Demi membuktikan bhakti kita kepada negeri tercinta ini!” Lanjutnya.

“Petualangan besar menuju Bali, Dompu, Seram dan Tanjungpura. Kita akan menklukkannya, lalu mengibarkan panji-panji Surya Majapahit disana!” Suara Panglima Perang itu terdengar berapi-api.

“Aku Gajah Mada, pemimpin misi ini! Pesanku hanya satu kalimat untuk kalian, tanamkan ke sanubari kita masing-masing : Satu Nyali, Wani!” Gajah Mada menggelorakan semangat pasukan Bhayanagkara itu. Sontak semua prajuritnya memekikkan teriakan yang tak kalah bergelora.

“Hidup Majapahit! Hidup Mahapatih Gajah Mada!” Sorak sorai para prajuritnya membahana.

Iring-iringan kapal berbendera Surya Majapahit pun perlahan bergerak meninggalkan dermaga Trowulan. Mereka menyusuri aliran sungai Brantas ke arah timur. Menembus muara di perairan Selat Madura. Terus menyisir samudera ke arah timur lagi, membelah Selat Blambangan.

*****

“Siapa pemimpin pasukan ini?” Tanya seorang senopati berpakaian kebesaran kerajaan Buleleng yang mendatangi rombongan pasukan Majapahit.

Hari itu, setelah menempuh perjalan selama satu minggu, Gajah Mada membawa iring-iringan kapalnya berlabuh di dermaga Gilimanuk. Sebelum mendarat, dari kejauhan ia sudah melihat sepasukan tentara Buleleng Bali telah menghadang di tepi dermaga.

“Aku pemimpin pasukan ini!” Ucap Gajah Mada yang turun dari gladak kapalnya.

“Siapa kalian? Pasukan darimana?” Tanya sang senopati.

“Aku Gajah Mada, Mahapatih Amangkubumi Majapahit, dari tanah Jawa Dwipa!” Dengan tenang Gajah Mada mendekat.

“Apa maksud kalian membawa pasukan sebanyak ini ke tanah Bali?” Senopati Buleleng kambali bertanya. Sorot mata dan mimik wajahnya tampak menyimpan ketidaksukaan dengan kedatangan pasukan Majapahit.

“Aku mewakili negeriku Majapahit, ingin bertemu raja Buleleng!” Jawab Gajah Mada.

“Ada perlu apa dengan raja kami?” Senopati Buleleng belum puas. Terus mengejar dengan berbagai pertanyaan. Ia menangkap gelagat mencurigakan dari invasi pasukan Gajah Mada itu.

“Aku ingin menyampaikan kepada rajamu bahwa Buleleng hendaknya mengakui kedaulatan Majapahit sebagai penguasa Nusantara!” Ucap Gajah Mada.

“Mengakui kedaulatan Majapahit? Apa maksudnya?” Tanya senopati kerajaan Buleleng lagi. Ia memberikan isyarat kepada para tentaranya yang langsung bersiaga di belakangnya.

Gajah Mada sigap. Hal yang sama juga dilakukannya. Diangkatnya telapak tangannya keatas, memberi aba-aba kepada pasukan Byangkara Majapahit yang segera turun dari kapal-kapal mereka. Dengan cepat mereka membentuk formasi pula di belakang sang Mahapatih Amangkubumi Majapahit.

“Mengakui kedaulatan Majapahit artinya tunduk pada kami sebagai penguasa Nusantara! Buleleng adalah negeri vassal di bawah kekuasaan ratu kami, Majapahit. Kami menawarkan ini dengan baik-baik!” Jelas Gajah Mada.

“Ternyata bukan cuma badanmu yang besar. Mulutmu juga besar sekali!” Ucap Senopati Buleleng yang tersinggung dengan niat Majapahit. Ia langsung mencabut tombaknya. Dengan penuh amarah menebaskan senjata itu ke tubuh Gajah Mada.

Panglima Perang Majapahit melompat dan berkelit. Serangan Senopati Buleleng mengenai udara kosong. Seketika itu, ratusan tentara Buleleng berhamburan ikut menerjang ke barisan pasukan Gajah Mada.

Terjadi perang pembuka di dermaga Gilimanuk. Armada Bhayangkara Majapahit yang berjumlah lebih besar dengan mudah mengatasi penghadangan pasukan kerajaan Buleleng. Satu per satu tentara Bali berjatuhan.

Di barisan terdepan, Senopati Buleleng terus menebaskan tombak ke kiri-kanan. Namun Gajah Mada terlalu tangguh untuknya. Kepalan tangan momongan Ki Gede Sidowayah yang berukuran besar pun melayang ke wajah sang Senopati. Ia terjerembab, tombaknya terpental dan langsung disambar Gajah Mada. Dengan sekali lemparan, senjata itu menancap tepat di dahi pemiliknya. Tak bergerak lagi. Perlawanan Senopati Buleleng selesai!

Tentara Buleleng yang tersisa dan masih hidup langsung berlarian tunggang langgang setelah mengetahui senopati mereka tewas oleh Gajah Mada. Sementara pasukan Bhayangkara Majapahit bersorak sorai menyambut kemenangan awal ini.

“Kalian yang masih selamat, beritahukan kepada rajamu bahwa kami akan datang ke Buleleng setelah ini!” Teriak Gajah Mada kepada sisa-sisa tentara Buleleng yang lari meninggalkan dermaga Gilimanuk.

“Prajuritku yang gagah perkasa, kalian beristirahatlah sebentar. Nanti kita bergerak lagi menyusuri pantai pulau ini. Menuju pusat kotaraja Buleleng!” Gajah mada menyuruh pasukannya beristirahat sejenak. Tak lama kemudian, iring-iringan ratusan kapal armada Majapahit kembali bergerak kea rah timur. Menyusuri perairan di bibir pantai Bali.

*****

“Sembah paduka untuk Raja Buleleng yang agung. Terimalah salam dari pemimpin negeri kami, Ratu Tribhuwana Tunggadewi!” Ucap Gajah Mada ketika ia menemui raja Buleleng di pendopo istananya.

“Katakan apa yang menjadi tujuan kalian mengirim pasukan sebanyak ini ke Bali?” Tanya Raja Buleleng.

“Kami ingin mengajak Buleleng bergabung secara baik-baik. Mengakui kedaulatan Nusantara dalam satu kekuasaan Majapahit!” Jelas Gajah Mada.

“Jangan bermimpi kalian orang-orang Majapahit!” Raja Buleleng mulai terpancing amarahnya. Ajakan baik-baik untuk mengakui kedaulatan Majapahit sama saja merendahkan harga dirinya.

“Tak ada sejengkal tanahpun dari Buleleng yang akan dapat ditaklukkan Majapahit. Kau dan semua pasukanmu akan pulang ke Jawa Dwipa tinggal nama!” Ucap Pangeran Buleleng yang ikut angkat bicara. Putra Mahkota itu berdiri dari tempatnya sambil menunjuk wajah Gajah Mada.

“Surya Majapahit akan dikibarkan dengan darah orang-orang Buleleng hari ini!” Gajah Mada langsung berdiri, menerobos keluar paseban.

Di halaman pendopo, ratusan pasukan Bhayangkara Majapahit sudah berhadap-hadapan dengan tentara kerajaan Buleleng. Gajah Mada yang baru keluar dari paseban dikejar Panglima Perang Buleleng.

“Jangan lari kau si Mulut Besar!” Teriak sang panglima Perang.

“Bukan watak Gajah Mada lari dari musuh!” jawab Gajah Mada.

“Aku keluar dari paseban karena menghormati pendopo sebagai sebuah bangunan agung!“ Jelas Sang Mahapatih Amangkubumi Majapahit itu.

“Upacara kremasimu sudah disiapkan disini!” Ucap sang Panglima Perang Buleleng. Tangannya mengacungkan sebuah trisula besar. Sontak tentara Buleleng yang dari tadi menunggu moment ini langsung maju memecah barikade pasukan Majapahit.

Pertempuran besar pun tak terelakkan. Di halaman pendopo kerajaan Buleleng yang luas itu kedua pasukan saling serang. Suara pedang, tombak dan tameng beradu terdengar gemerincing.

Gajah Mada merundukkan kepalanya ketika sebuah sabetan trisula milik Panglima Perang Buleleng nyaris menghunjam lehernya. Belum sempat ia memasang kuda-kuda, sabetan datang dari arah yang lain. Ternyata Pangeran Buleleng ikut menyerangnya juga. Kini satu lawan dua.

Baik Panglima Perang maupun Putra Mahkota Buleleng sama-sama membabi buta melayangkan serangan ke tubuh Gajah Mada. Sebaliknya, Mahapatih Amangkubumi Majapahit  asal desa Modo terus bertahan menghindarinya.

Gajah Mada mundur beberapa langkah. Tangan kanannya merogoh ke balik baju. Sesaat ia memejamkan mata. Mengucapkan beberapa kalimat yang seperti berbisik ke benda yang dirogohnya.

Sebuah pusaka berbentuk  tujuh lekukan telah terhunus. Gajah Mada mengacungkannya tinggi-tinggi. Cahaya berkilauan keluar dari keris itu. Sinarnya menyambar kesana-kemari ke seluruh halaman pendopo. Langit Buleleng seketika tertutup mendung. Suara halilintar bergelegar berkali-kali.

Tentara Buleleng berlarian ketakutan. Keris yang kini dipegang Gajah Mada bukan hanya memancarkan cahaya terang benderang yang menyilaukan mata mereka. Tetapi suara gelegar guntur di langit Buleleng juga dikarenakan pusaka milik momongan Nyai Wora Wari itu dicabut dari rangkanya.

Keadaan berbalik. Gajah Mada yang ganti menerjang ke arah Panglima Perang Buleleng. Sekali tebas, Keris Luk Pitu sudah menghunjam di jantung musuhnya. Tanpa sempat berkelit sedikitpun, sang Panglima Perang seketika roboh meregang nyawa. Hanya satu gerakan!

Putra Mahkota Bali segera duduk bersimpuh dihadapan Gajah Mada. Tubuhnya gemetaran begitu hebat. Ia menyerah dan memerintahkan semua tentara Buleleng meletakkan senjata mereka.

Raja Buleleng berserta putranya akhirnya menyatakan kalah. Ia pun menulis sabda yang berisi pengakuan bahwa Bali merupakan negeri vassal (provinsi) dibawah kedaulatan Nusantara. Satu negeri, Majapahit!

*****

BERSAMBUNG


Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Wani = Berani.
Negeri vassal = Provinsi.

Surya Majapahit adalah lambang negeri Majapahit. Menggunakan simbol matahari beserta delapan penjuru arah mata angin. Sebuah batu prasasti bermotiv Surya Majapahit saat ini bisa kita temui di Museum Trowulan Majapahit, Mojokerto Jatim.

Surya Majapahit - image google

Surya Majapahit terukir dalam sebuah batu andesit - image google

7 komentar:

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *