Senin, 16 Mei 2016

PRALAYA DI LANGIT BUBAT 11




Gajah Mada - image google

NARARYA SANGGRAMAWIJAYA


Trowulan, 1309 Masehi.

Prabu Kertarajasa Jayawardhana jatuh sakit. Sudah tiga hari sang raja terbaring di bilik kedaton. Kondisi tubuhnya semakin melemah. Hal ini membuat permaisurinya, Ratu Tribhuwaneswari cemas.

“Kakang Wijaya, apa sebenarnya yang mengusik pikiranmu?” Tanya Ratu Tribhuwaneswari.

Sang Prabu hanya menghela nafas panjang. Tak menjawab pertanyaan permaisurinya. Sesekali ia terbatuk-batuk. Para selir yang juga setia menunggui ikut gelisah. Raja Majapahit itu tak mau berbicara sejak terbaring sakit.

“Minum ini dulu kakang prabu.” Ucap Ratu Gayatri, selir pertama Kertarajasa Jayawardhana. Tangannya menyodorkan air putih yang ia ambilkan dalam sebuah guci keramik. Dengan terbatuk-batuk, sang Prabu meminumnya. Berbaring lagi, tetap tak berbicara sepatah katapun.

Suasana bilik kedaton kembali sunyi. Ratu Tribhuwaneswari hanya bisa mengelus-elus rambut suaminya. Sementara Ratu Gayatri sibuk menata peralatan makan dan minum sang raja yang terletak di meja tak jauh dari tempat peraduan.

Tiga selir lainnya, Ratu Narendraduhita, Ratu Jayendradewi dan Ratu Dara Petak memijit-mijit kaki Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Kelima istri raja Majapahit itu dengan setia merawat dan menunggui di bilik kedaton selama tiga hari ini.

“Dosa apa yang telah kuperbuat? Kini semua pengikut setiaku gugur secara bergantian karena aku!” Akhirnya sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana memulai bicara.

“Apa maksud kakang Wijaya?” Ratu Tribhuwaneswari dengan lembut dan penuh hati-hati bertanya. Ia bersyukur akhirnya suaminya mau angkat bicara.

“Sakitku ini karena memikirkan mereka adinda!” Jawab Prabu Kertarajasa Jayawardhana.

“Setelah kakang Ronggolawe gugur, tak lama disusul paman Lembu Sora!” Lanjutnya.

“Ini sudah suratan Dewata Agung kakang Wijaya.” Sang permaisuri berusaha menenangkan perasaan raja Majapahit. Ternyata ini yang membuat kondisi kesehatan suaminya semakin jatuh.

“Adinda pasti ingat, bagaimana kakang Ronggolawe berjibaku hidup mati melindungi kita dari kejaran tentara Kediri!” Ucap raja yang akrab dipanggil Prabu Brawijaya itu.

“Paman Lembu Sora yang tanpa lelah menggendongku naik turun gunung, menyeberangi sungai dan rawa. Dari Singosari hingga Sumenep!” Jelas sang Prabu.

“Iya kakang, aku mengerti perasaanmu. Tapi keputusanmu memilih paman Nambi sebagai Mahapatih sudah menjadi Sabdo Pandito Ratu. Pantang ditarik lagi!” Jawab Ratu Tribhuwaneswari.

*****

Beberapa bulan terakhir, para pengikut setia Prabu Kertarajasa Jayawardhana membelot. Orang-orang yang sangat berjasa baginya ketika ia mendirikan Majapahit. Justru satu per satu memberontak.

Ronggolawe, senopati terkuat yang pernah ia miliki menjadi pengikut pertama yang mbalelo. Panglima perang yang sangat digdaya itu kecewa karena Prabu Brawijaya dianggap tidak adil dalam menyusun kabinet.

Nambi yang sama sekali tidak pernah ikut berperang dijadikan Mahapatih. Hanya karena ia adalah titipan ayahnya, Arya Wiraraja yang dulu tempat tinggalnya pernah dijadikan persembunyian Prabu Brawijaya saat dalam pelarian ke Sumenep, Madura.  

Apa jadinya negeri ini kalau posisi penting dalam pemerintahan diisi oleh orang yang tidak berkompeten? Terkesan jabatan Mahapatih ini adalah pos jatah untuk orang yang mendukung Prabu Brawijaya saat berjuang menuju kursi raja Majapahit.

Inilah yang membuat jiwa kesatria Ronggolawe terkoyak. Menurutnya, seharusnya Lembu Sora yang pantas menduduki jabatan itu. Selain digdaya, keuletan dan pengabdiannnya sudah teruji. Ahli strategi pemerintahan juga.

Sikap Ronggolawe ini dianggap menentang kebijakan Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Ia pun dicap sebagai pembangkang. Ronggolawe melawan! Ia mengundurkan diri dari pemerintahan Majapahit dan memilih pulang ke Tuban.

“Kirim seribu prajurit pilih tanding ke Tuban!” Perintah Prabu Kertarajasa Jayawardhana ketika mendapat laporan Ronggolawe keluar dari kotaraja, sesaat setelah menghadapnya dan menyampaikan mundur.

“Jangan biarkan kakang Ronggolawe leluasa menyusun kekuatan! Tumpas sekarang juga!” Sang raja murka. Ia menganggap pengunduran diri Ronggolawe sebagai sebuah ancaman. Mahapatih Nambi segera diutusnya berangkat ke Tuban bersama pasukan Majapahit.

Terjadi perang tidak seimbang di Tuban. Ronggolawe yang seorang diri akhirnya gugur setelah rumahnya dikepung seribu prajurit pilih tanding pimpinan Mahapatih Nambi.

Kematian Ronggalawe, yang tak lain adalah keponakannya membuat Lembu Sora marah. Ia yang kala itu diangkat menjadi adipati di Daha segera berangkat ke Trowulan, Majapahit. Menghadap Sang Prabu Brawijaya di kedaton.

“Tidakkah kau ingat siapa yang menjadi perisaimu ketika ratusan anak panah tentara Kediri menghujani tubuh gusti prabu dan ratu Tribhuwaneswari?” Protes lembu Sora kepada Prabu Brawijaya di pendopo Majapahit.

Sang raja terdiam. Ia membalikkan badan dan tidak sanggup menatap Lembu Sora yang sedang marah. Apa yang diucapkan pengikut setianya sejak dari Singosari itu benar. Tetapi baginya Ronggolawe sudah berubah. Telah menjadi pembangkang.

“Hamba kecewa kepadamu, gusti prabu! Paduka telah menjadi kacang yang lupa kulitnya” Ucap Lembu Sora.

“Jaga ucapanmu paman Lembu Sora!” Tiba-tiba Mahapatih Nambi sudah berada di paseban agung. Langsung ikut angkat berbicara.

“Adi Nambi, ini urusanku dengan gusti prabu Brawijaya!” bentak Lembu Sora yang tersinggung dengan ucapan anak Arya Wiraraja itu.

“Aku Mahapatih di kedaton ini. Urusan sang prabu adalah urusanku juga!” Jawab Nambi.

“Maafkan aku paman Lembu Sora. Semua ini terjadi karena Ronggolawe mbalelo!” Jelas Prabu Brawijaya.

“Kita semua tahu siapa Ronggolawe! Gusti prabu tentunya juga hapal peringainya. Tidak mungkin dia melakukan pengkhianatan!” Bantah Lembu Sora.

“Aku tidak bisa berpikir lagi saat ini paman Lembu Sora. Maaf, aku ingin beristirahat!” Sang raja tetap tidak mau menatap tetua yang sedang marah di paseban agung itu. Ia segera meninggalkan pendopo.

“Selesaikan masalah ini kakang Nambi!” Perintahnya kepada Mahapatih Nambi.

“Sendiko dawuh!” Jawab Nambi. Sang Mahapatih itu segera menyuruh Lembu Sora untuk keluar dari pendopo dan pulang ke Daha.

“Gusti prabu, jangan pergi. Aku belum selesai berbicara!” Teriak Lembu Sora. Tetapi Prabu Brawijaya yang dipanggilnya berulang kali tak bergeming. Ia tetap melangkah masuk ke kedaton, meninggalkan Nambi dan Lembu Sora di ruang paseban agung.

Lembu Sora semakin merasa dilecehkan. Bertahun-tahun ia menjadi abdi setia Nararya Sanggramawijaya. Menyelamatkan dari pembunuhan di Singosari oleh tentara Kediri. Membawanya bersembunyi ke Sumenep, Madura. Menyusun strategi dan kekuatan baru disana, lalu berhasil menghabisi Jayakatwang, raja Kediri. Hingga mendirikan negeri baru di hutan Tarik, Trowulan. Majapahit!

Nambi menarik lengan Lembu Sora, ketika adipati Daha itu berusaha mengejar Prabu Brawijaya masuk ke kedaton. Terjadi pergumulan beberapa saat di pendopo. Lembu Sora menendang Nambi hingga jatuh tersungkur.

“Prajurit, ada pembangkang yang ingin menyakiti gusti prabu Brawijaya! Kepung paman Lembu Sora ini!” Teriak Mahapatih Nambi. Beberapa prajurit segera menolongnya. Sebagian lagi berusaha menangkap Lembu Sora.

“Datangkan pasukan pilih tanding!” Perintah Nambi ketika mengetahui orang yang dipanggilnya paman itu semakin murka dan membabi buta menghabisi prajuritnya.

Tak berselang lama, datang sepasukan prajurit pilih tanding. Lembu Sora digelendeng ke halaman depan pendopo. Terjadi perlawanan tidak seimbang. Orang tua yang dulu selalu setia menggendong Nararya Sanggrawijaya dari Singosari hingga Madura itupun meregang nyawa di halaman kedaton.

*****

“Kakang Wijaya, beristirahatlah saja. Jangan kemana-mana dulu.” Bujuk Ratu Tribhuwaneswari.

“Tidak adinda, kondisiku sudah membaik. Aku sudah sehat seperti sediakala!” Jawab Prabu Brawijaya.

“Panggil kakang Nambi dan para pengawal. Aku ingin melihat palagan adu kebo hari ini!” Lanjut sang raja. Hari itu adalah hari dimana ia mengadakan sayembara adu kerbau, untuk mencari pemenang yang akan dijadikan seorang abdi dalem.

“Adinda Dara Petak, suruh anakmu kemari. Putra Mahkota harus ikut aku melihat palagan ini!” Prabu Brawijaya berbicara kepada salah satu selirnya, Ratu Dara Petak.

“Baiklah kakang Wijaya, aku akan mengirim prajurit untuk menjemput Pangeran Jayanegara.” Jawab sang selir.

Tak lama kemudian, Putra Mahkota yang merupakan anak lelaki satu-satunya Prabu Brawijaya datang dengan dikawal sepasukan prajurit. Calon penerus tahta Majapahit itu segera menghampiri ibunya, Ratu Dara Petak.

“Anakku, ikutlah romo prabu ke palagan adu kebo!” Jelas ibunya.

Prabu Brawiijaya, Pangeran Jayanegara dengan dikawal Mahapatih Nambi akhirnya berangkat. Sampai di palagan adu kebo, antusias rakyat luar biasa. Mereka menyambut kedatangan penguasa Majapahit dengan mengelu-elukan rajanya. Sementara di arena sudah ramai terjadi pertarungan hewan piaraan para pangon.

Semua pengunjung, termasuk Prabu Brawijaya terkesima dengan penampilan seekor gudel. Anak kerbau yang dibawa seorang pemuda desa tampil mengamuk. Seperti binatang yang kelaparan dan terluka.

Gudel itu tak tertandingi. Ia menerjang dan menghabisi semua lawan-lawannya di palagan. Strategi pemiliknya yang tidak memberi makan dan minum selama tiga hari ternyata berbuah hasil gemilang. Anak kerbau itu dinobatkan sebagai pemenang palagan adu kebo.

Pemiliknya pun dipanggil maju ke hadapan Prabu Brawijaya. “Siapa namamu kisanak?” Tanya sang raja.

“Jaka Mada, gusti prabu.” Jawab anak muda itu.

“Selamat ya anak muda, terimalah hadiah ini. Kamu juga akan dijadikan abdi dalem!” Prabu Brawijaya memerintahkan seorang pengawal untuk menyerahkan sekantong kepingan uang logam kepada Jaka Mada. Ia juga memberikan sebuah pakaian kebesaran yang hanya bisa dikenakan oleh orang yang menjadi bagian dari kedaton.

Jaka Mada menyembah rajanya, menundukkan badan lalu mundur. Ia mencari boponya diantara kerumunan pengunjung palagan adu kebo.

Thole, kamu gagah sekali dengan baju itu!” Ki Gede Sidowayah tersenyum bangga. Buliran bening mengalir di pipi Empu tua dari desa Modo itu.

“Mulai hari ini kamu adalah abdi dalem Majapahit. Ingat selalu semua pesan yang pernah bopo dan biyung wejangkan dulu!” Pesannya.

“Mada tak akan pernah lupa semua nasehat bopo dan biyung.” Jawab Jaka Mada sambil menyerahkan kantong berisi kepingan uang logam pemberian Prabu Brawijaya kepada boponya. Ia hanya mengambil beberapa keeping saja.

“Hadiah ini untuk bopo dan biyung.” Lanjutnya. Sesaat mereka berpelukan. Ki Gede Sidowayah dan Jaka Mada tak kuasa menahan keharuan. Hari itu mereka akan berpisah. Si Bopo akan pulang ke desa Modo. Kembali menjadi rakyat jelatah dengan menyambung hidup sebagai seorang Empu tua.

Sementara Jaka Mada menjalani hari-harinya sebagai seorang abdi dalem di Majapahit. Ia ditugaskan merawat dan menjadi penjaga taman di petirtaan kedaton.

*****

BERSAMBUNG

Baca kisah selanjutnya [ Disini ]
Kisah sebelumnya [ Disini ]

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
-------------------------
Catatan :
Nararya Sanggramawijaya bersama istrinya Tribhuwaneswari (putri Kertanegara, raja Singosari) berhasil diselamatkan Ronggolawe dan Lembu Sora saat terjadi penyerangan besar-besaran tentara kerajaan Kediri dibawah pimpinan Raja Jayakatwang.

Lembu Sora dan Ronggolawe membawa lari Sanggramawijaya dan Tribhuwaneswari ke Sumenep, Madura. Disana ia bersembunyi di tempat tinggal Arya Wiraraja.

Sanggramawijaya akhirnya berhasil menyusun kekuatan dan membalas penyerangan ke Kediri setelah memanfaatkan kedatangan pasukan kerajaan Mongolia. Pasukan yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Kan itu ditugaskan untuk menghukum raja Jawa. Dahulu, Prabu Kertanegara (mertua Sanggramawijaya) pernah melecehkan utusan Mongolia dengan memotong telinganya.

Arca Kertarajasa Jayawardhana di Candi Simping, Blitar - foto koleksi Museum Nasional

 *****

Sabdo Pandito Ratu = Ucapan seorang raja yang tidak bisa ditarik lagi.
Mbalelo = Memberontak.
Kisanak = Anda, kamu.
Romo = Ayahanda.

10 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehee ... awal dari karier Mada.
      Menjadi perawat dan penjaga taman.

      Hapus
  2. Wah... si mada menang.

    Apa itu bopo biyungnya tak lantas ikut tinggal di keraton? Cedih harus berpisah...

    BalasHapus
  3. Waaah kelanjutan kisah mada di nanti sekali

    BalasHapus
  4. Selalu Di tunggu lanjutanyya
    20 episode ya?

    BalasHapus
  5. Mada..selamat yaa. Sukses utk yg menulis cerita ini.
    Mas Heruu..aku padamu. Saluut.

    BalasHapus

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *